posKu

  • budaya
  • hukum
  • politik
  • lifestyle
  • humor

Rabu, 27 Oktober 2010

TRANSFORMASI PERAN AGAMA DALAM BUDAYA DEMOKRASI LOKAL TERHADAP DEMOKRATISASI di INDONESIA


Budaya di dalam politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh beragam faktor antara lain: budaya asli masyarakat Indonesia, budaya impor sisa peninggalan penjajah kolonial atau lingkungan internasional, dan budaya campuran (akulturasi) keduanya. Budaya politik akan menentukan pola pemerintahan dalam menjalankan kekuasaannya. Namun jika kita membahas mengenai demokrasi lokal maka agama memberikan sebagian perannya di dalam pengembangan demokratisasi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Indonesia merupakan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pembahasan tentang demokrasi seringkali tidak terlepas dari berbagai aspek seperti pemilihan umum, peran paartai politik, dan sistem pemilihan lembaga eksekutif dan legislatif. Lemabaga-lembaga tersebut memamg memberi makna signifikan terhadap diterapkannya prinsip-prinsip demokrasi, terutama dalam tataran demokrasi tingkat nasional. Berbeda dengan Hans Antelov & Pratchett (Prasetyo & Hadiwinata dalam makalah seminar) yang menyatakan konsep local autonomy dan local democrazy bahwa dinamika demokrasi lokal jauh memberi arti lebih bagi masyarakat awam, terutama dalam hal partisipasi, kebebasan pendapat dan pendidikan politik.
Suku Jawa merupakan penganut agama Islam terbesar di pulau Jawa yang mencapai 2/3 penduduknya, sehingga dapat dibayangkan sejauh mana peranan Islam, baik itu dari kalangan santri (penganut Islam taat) ataupun dari kalangan abangan, pada keseluruhan masyarakat Indonesia yang 90% menganut agama Islam.
Dalam local autonomy tentu tidaklah terlepas oleh tokoh-tokoh adat sebagai panutan dan aktivitas yang dilakukan oleh warga lokal. Terdapat keterkaitan antara tindakan politik yang dilakukan oleh tokoh adat yang akan berpengaruh terhadap corak keseragaman politik di masyarakatnya. Hal demikian tentu tidak terlepas dari budaya hirarki kerajaan. Ada sebuah kepasrahan dan keyakinan yang menitik beratkan masyarakat Indonesia pada seseorang yang dinamakan sebagai orang pilihan yang memiliki pengetahuan yang lebih. Sehingga masyarakat lebih meyakini apa yang dikatakan tokoh adat dibandingkan dengan pendapat diri sendiri. Di sisi itulah peran agama memberikan arti penting dalam budaya demokrasi lokal.
1.        KETERKAITAN JUDUL DALAM TELAAH TEORI
Agama adalah sebuah kepercayaan yang diyakini seseorang terhadap tuhannya serta ajaran-ajarannya. Agenda pokoknya adalah membangun keimanan dan etika sosial atau akhlak mulia, bukan hanya sekedar pada formalisme simbolik dan memperbanyak partai-partai agama (Hidayat, 2006:117). Kemuliaan disini dapat direalisasikan dalama wujud penerapan dan pengembangan etika terutama dalam dunia politik, sosial, dan ekonomi dari sebuah masyarakat bangsa. Namun jika inti dari sebuah agama yang disandingkan dengan politik dapat merubah konsep susunan sebuah agama menjadi materialistik tentu akan merubah konsep awal menjadi konsep yang baru. Penguatan konsep nilai-nilai luhur sebuah agama di negara demokratis kini berubah menjadi sebuah kekuatan politik baru dalam bentuk kepartaian.
Hal tersebut didukung oleh budayawan politik, Albert Widjaja yang menyatakan bahwa budaya politik merupakan aspek politik yang terdiri dari sistem nilai-nilai seperti ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Masyarakat mengakui sistem nilai tersebut, sebagian atau keseluruhannya. Latar belakang pemahaman terhadap budaya politik akan memberikan penilaian logis untuk menolak ataupun menerima nilai lain atau baru.  Lebih lanjut, Widjaja menyandingkan konsep budaya politik dengan idelogi, yang berarti sikap mental, pandangan hidup, dan struktur pemikiran.  Budaya politik merupakan kesatuan pandangan di dalam masyarakat, sedangkan pandangan individu yang khusus masih perlu dipernyatakan keberlakuannya.
Letak agama disini sebagai media untuk membentuk keseragaman pandangan di dalam masyarakat yang nantinya dalam sistem politik Indonesia akan menjadi penguat dan unsur dalam demokratisasi di Indonesia. Salah satu dengan adanya demokrasi lokal. Mengingat bahwa sebagian besar wilayah Indonesia berupa pedesaan dalam pengembangan demokrasi nasional.
Demokrasi lokal dapat dipahami sebagai aktivitas-aktivitas seleksi kepemimpinan, representasi, kontrol warga terhadap pemimpinnya, chek and balances, dan bahkan pembuatan keputusan yang melibatkan komunitas setempat baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal yang membedakan antara demokrasi lokal dengan demokrasi lainnya adalah, bahwa pada demokrasi lokal terdapat unsur otonomi lokal yang menyangkut kebebasan dari intervensi pusat, dan kebebasan dalam merefleksikan nilai-nilai dan norma-norma lokal. Adanya demokrasi lokal ini terkadang dilupakan keberadaanya oleh kalangan elit politik pusat. Dengan mendudukung dan memberi pehatian tehadap demokarsi lokal tentu akan lebih membantu sosialisasi dan pendidikan politik di Indonesia.
Dalam konteks pedesaan di Indonesia, Hans Antelov (Prasetyo & Hadiwinata dalam makalah seminar 2006:9) menyatakan bahwa praktek politik pedesaan mengenal dua macam otoritas. Otoritas informal yang terkait dengan kemampuan individu tertentu untuk mendapatkan pendukung setia, mendapat hormat serta respek dari masyarakat seperti status keluarga, pengetahuan agamaa, intelektual dan sebagainya. Otoritas seperti ini biasanya dimiliki oleh pemuka agama, pemuda, aktivis, guru, dan lain-lain. Kedua, otoritas formal administratif yang menyangkut kekuasaan yang dilindungi oleh mandat-mandat resmi, didukung dengan akses keuangan negara, dan dijalankan melalui kebijakan-kebijakan resmi pemerintah. Otoritas semacam ini dimiliki oleh kepala desa, kepala sertifikat pemerintah, kepala dusun, ketua anggota BPD dan lain sebagainya.
Transformasi adalah peruabahan rupa, bentuk, sifat, dan fungsi (KBBI:2005). Dikatakan bahwa peran agama dalam demokrasi lokal telah ditransfomasikan menjadi sebuah wujud baru dan salah satu unsur dari demokratisasi sistem politik di Indonesia. Transformasi praktek-praktek keagamaan di tingkat lokal, secara langsung maupun tidak langsung banyak dipengaruhi oleh kebijakan politik penguasa.
Ada banyak perubahan yang mendasar, baik yang terkait dengan pokok-pokok ajaran, yang sebenarnya berakar pada kepentingan dan konteks lokal kini menjadi sarat akan kepentingan kelompok. Serta praktek perpindahan menjadi sarana untuk memperkuat persatuan lokal. Selain itu agama juga mampu memberikan perlindungan dari tekanan poitik.
Sebagai masyarakat desa transformasi ini diterima dalam keadaan setengah sadar. Sebagai contoh, dalam sebuah pengajian terdapat ceramah dimana sang ustad atau pun ustadzah memberikan ceramah mengenai issue bahwa golput berdasarkan fatwa adalah haram hukumnya beserta dalil-dalilnya. Ketika diakhir ceramah sang penceramah memberikan seloroh mengenai salah satu partai yang diusungnya beserta kalimat-kalimat kampanyenya yang diperhalus.
Berikut petikan yang diperoleh dari jurnal Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta (2008:7-10)
“Saya itu ndak tahu apa itu politik, tapi setiap acara pengajian dan sholawatan,Ibu Nyai dan Pak Kiai seusai acara sholawatan selalu berceramah tentang partai. Partai yang didirikan NU yang perlu didukung. Kalau tidak ada pemilu, ya cuma pengajian aja, sambil ngobrol kesana kemari.”
(saripah, 7 April 2004)
“Pemilu lalu saya coblos PKB, ya sekarang juga coblos PKB, pokoknya saya pasrahkan saja urusan politik itu pada kiai karena saya juga tidak tahu politik.”
(ponirah,5 April 2004)
Artinya mereka pada akhirnya sadar akan haknya sebagai warga negara untuk ikut berpartisispasi dalam pesta demokrasi, tetapi dilain pihak mereka secara tidak sadar telah terdoktrin dengan partai yang didukung sang penceramah.
Dengan pengkombinasian otoritas informal dan otoritas formal yang dimiliki dan didasari pada rasa segan, sungkan, hormat dalam sebuah forum ternyata mampu mempermudah pencapaian kompromi. Pada kadar tertentu mekanisme semacam ini mirip dengan apa yang disebut Hebermas sebagai deliberative democracy, yaitu partisipasi langsung masyarakat dalam bentuk diskusi dan dialog dalam menentukan pembuatan kebijakan pemerintahan. Dengan demikian jelas adanya bahwa demkrasi pada tingkat lokal dapat mempengaruhi dan menopang perkembangan demokrasi pada lingkup yang lebih luas.
2.        KESIMPULAN
Dari paparan argumen diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam demokrasi lokal terdapat sebuah transformasi peran agama yang menjadikan sifat, bentuk dan fungsi agama berubah menjadi penguat serta pelindung dari kekuasaan politik. Namun hal itu tentu memberikan corak baru tentang bagaimana demokratisasi di Indonesia bila peran agama menjadi salah satu aktor dalam politik.

DAFTAR RUJUKAN
Hidayat, Komaruddin.2006. Politik Panjat Pinang: Dimana Peran Agama. Jakarta: Kompas.
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2005. Makalah Dinamika Low Politics: Kontribusi Demokrasi Lokal (Pedesaan) Terhadap Deokratisasi Di Indonesia.
DS, Pradjarta&Septianingsih, Haryani. 2005. Makalah Kontradiksi Dalam Hubungan Pusat Dan Pinggiran, Strategi Mempertahankan Identitas Dan Kelangsungan Agama Di Tingkat Lokal.
Budaya dan Etika Politik Dalam Sistem Politik Indonesia: Bangsa Besar yang Sakit. http://raconquista.wordpress.com [diakses 8 Juni 2009]
Rozaki, Abdur. 2008. Pemilu 2004 Di Madura:Pertarungan Ideologi Kiai, Kerabat, Dan Uang. Februari,vol I.[diakses tanggal 8 Juni 2009]
2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Apolo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar