posKu

  • budaya
  • hukum
  • politik
  • lifestyle
  • humor

Selasa, 26 April 2011

MEMULIHKAN KEWENANGAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN PAJAK : UPAYA SOLUSI MASALAH PERPAJAKAN DI INDONESIA

Pajak begitu penting bagi Negara. Setiap Negara atau daerah telah mengakui betapa pentingnya penghimpunan dana dari rakyat baik itu untuk penguasa dengan tidak memperhatikan rakyat atau juga digunakan untuk kesejaterahan rakyatnya (Devano&Rahayu, 2006:8). Pajak adalah sumber utama penerimaan pemerintah di dalam sistem keuangan Negara yang modern (Kumorotomo,  2010: 2). Begitu pentingnya pajak bagi Negara seharusnya lembaga yang mengurusi perpajakan di Indonesia memiliki kredibilitas dan akuntabilitas yang baik dimata publik.
Besar dan kecilnya pajak yang harus dibayarkan wajib pajak memang di hitung dan di tentukan oleh Ditjen Pajak wilayah sekitar berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Karena masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara instansi perpajakan dan pihak wajib pajak. Untuk mempermudah penyelesaian sengketa perpajakan dirasa butuh untuk mendirikan suatu peradilan khusus yang berwenang menanganinya.
Satu tahun ini citra institusi pajak dan kehakiman tercoreng karena salah seorang pegawai pajak merangkap menjadi makelar pajak. Tentu masih terekam jelas dalam ingatan tentang kasus Gayus Halomoan Tambunan, seorang pegawai pajak golongan III A dengan gaji 12 juta perbulan ini mampu menggoyangkan posisi Negara menuju kemandulan presiden dalam mengelola dan menegakkan slogan kampanyenya “Indonesia tanpa korupsi, BISA!”.
Data dari Ditjen pajak pada awal tahun 2010 menyebutkan bahwa dari total piutang pajak yang besarnya mencapai Rp 44 triliun rupiah ternyata hanya sekitar 25 persen yang dapat dikembalikan melalui proses pengadilan pajak. Mantan Ditjen pajak Darmin Nasution bahkan pernah menyebutkan potensi penerimaan pajak yang hilang karena adanya makelar pajak, suap dan berbagai bentuk kejahatan pajak (tax crime) lainya setiap tahunnya mencapai Rp 300 triliun (Bisnis Indonesia, 17/04/2010). Wujud pembangkangan ini benar-benar akan mengancam stabilitas Negara untuk menjalankan fungsi dan tujuan pajak.
Mengutip perkataan wakil ketua komisi XI DPR, Merchias Markus Mengkeng yang mengatakan bahwa kasus Gayus Tambunan harus menjadi acuan dan kesempatan untuk memperdalam masalah yang terjadi di pengadilan pajak. Apakah kekalahan Negara itu disebabkan suap menyuap ataukah karena kelemahan perundang-undangan yang dimanfaatkan wajib pajak yang nakal (Kompas, 29/3/2010). Penulis mencoba memperdalam analisis beliau yang ke dua dimana masalah Gayus ini dilihat dari perspektif lemahnya undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak. Benarkah beberapa pasal memang melonggarkan para makelar pajak.
Makelar pajak memiliki rantai makelar yang sangat menakjubkan. Mengapa menkajubkan? Hal ini dikarenakan terkaitnya beberapa kolaborasi aktif dari berbagai institusi penyangga pilar Negara. Antara lain, konsultan pajak, para penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim, politisi, Ditjen pajak dan pengusaha nakal.
Dengan ditetapkannya Andi Kosasih dan pengacara Haposa Hutagalung, Brigjen Edmond Ilyas, Kompol Arafat Enanie, AKP Sri Sumantri, hakim Muhtadi Asnun, Haran Tarigan, Bambang Widyatmoko. Serta  JPU Cirus Sinaga yang sedang dalam proses pemeriksaan sebagai tersangka, membuat kita bertanya dapatkah kasus ini diusut tuntas dan menjadi terang benderang. Dengan demikian, untuk memberantas makelar pajak, tindakan hukum yang dilakukan memang harus komprehensif.
Semua pengusaha tentu tidak akan terlepas dari pengawasan aparatur pajak (fiskus) khususnya pengawasan dalam rangka pemeriksaan pajak guna menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya seperti yang diatur dalam pasal 29 ayat (1) UU KUP yang menyatakan bahwa:
“ direktur jendral pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundanng-undangan perpajakan.”
Produk akhir dari pemeriksaan tersebut terdiri dari diterbitkannya Surat ketetapan Kurang Bayar Pajak/SKPKB, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan/SKPKBT, Surat Ketetapan Pajak Nihil/SKPN, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar/SKPLB. Dari empat kondisi ketetapan pajak, yang paling tidak disukai adalah kondisi kurang bayar. Namun hal inilah yang terkadang kontra dengan laporan wajib pajak yang jujur melaporkan kekayaannya setiap bulan atau setiap tahun. Oleh karena terdapat beberapa permainan yang dilakukan wajib pajak terhadap pejabat pajak ataupun sebaliknya maka terjadilah sengketa.
Menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak menyebutkan bahwa yang dikatakan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atau pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang dengan surat paksa.
2.2.   Pengadilan Pajak Era Orba Dan Pasca Reformasi
Sejak dahulu, ketika masa penjajahan belanda Indonesia sudah memiliki suatu institusi khusus yang dikenal dengan nama institusi pertimbangan pajak pada tahun 1915 (staatsblaad tahun 1915 nomor 707) yang berkedudukan di Jakarta (atau Batavia pada saat itu). Kemudian ketentuan penyelesaian sengketa pajak ini disempurnakan dengan staatsblaad tahun 1927 nomor 29 tentang Ordonatie Regeling vat het Beroep in Belasting zaken sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan undang-undang nomor 5 tahun 1959 (lembaran Negara nomor 13, tambahan lembaran negra nomor 1748) dengan kedudukan tetapnya di Jakarta (Barata, 2003:5).
Institusi pertimbangan pajak ini kemudian berganti nama menjadi Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang bertugas memberi keputusan atas Surat Permohonan Banding tentang Pajak-pajak Negara dan daerah. Majelis pertimbangan Pajak memeriksa dan memutus Sengketa Pajak hanya berlaku hingga tahun 1997. Sejak awal tahun 1998, dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, maka penanganan penyelesaian sengketa pajak (banding dan gugatan ) beralih ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).
Di dalam penjelasan umum Undang-undang No. 17 tahun 1977, disebutkan antara lain, bahwa MPP yang dibentuk berdasarkan Regeling vat het Beroep in Belasting zaken staatsblaad nomor 29 tahun 1927, sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor 5 tahun 1959 tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan dalam menyelesaikan sengketa pajak.
Untuk memeberikan pelayanan kepada warga negara diperlukan lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komperhensif untuk menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan UU perpajakan. Undang-undang no. 17 tahun 1977 tentang perpajakan itu diharapkan dapat memberikan putusan hukum atas sengketa pajak dengan proses yang sederhana, cepat dan murah. Atas pertimbangan tersebut BPSP dibentuk.  Kompetensi yang lebih luas dibandingkan dengan badan peradilan pajak sebelumnya ini dinyatakan dalam Undang-undang no. 17 tahun 1977 bahwa :
“Badan Penyelesaian Sengketa bukan saja menggantikan kedudukan Majelis Pertimbangan Pajak melainkan juga Menggantikan Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai sebagai mana dimaksud dalam UU no. 10 tahun 1985 tentang kepabeanan dan UU no. 11 taun 1985 tentang Cukai”
Sebagai lembaga peradilan, keberadaan BPSP hanya berumur 4 tahun. Badan ini digantikan dengan badan peradilan baru bernama pengadilan pajak sejak diterbitkannya UU no. 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak pada tanggal 12 April 2002.
2.3     Analisis Kajian Kekuasaan Dan Kewenangan Pengadilan Pajak Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002
Penulis memandang bahwa hal yang menjadi kelemahan dalam pengadilan pajak adalah dualism kewenangan dan kekuasaan pengadilan pajak. Seperti yang dinyatakan dalam pasal 31 ayat (1) bahwa pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutuskan sengketa pajak. Sedangkan kekuasaan pengadilan pajak diatur lebih lanjut dalam pasal 33 bahwa pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa, sehingga putusan pengadilan pajak bersifat final and binding (putusan terakhir dan memilki kekuatan hukum tetap).
Dalam sengketa pajak yang diajukan ke meja pengadilan pajak hanya bersifat banding. Dimana hanya memeriksa dan memutuskan suatu keputusan yang dapat diajukan banding sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Prosedur keberatan tidak diatur dalam UU peradilan pajak tetapi diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang mana disebutkan dalam pasal 25 ayat (1) bahwa wajib pajak mengajukan keberatan hanya kepada Ditjen Pajak. Itupun dengan syarat, WP harus melunasi dulu hutang pajak yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan (pasal 25 ayat 3a), sehingga dapat diperkenankan mengajukan keberatan.
Bahasa sederhananya adalah Ditjen Pajak yang membuat laporan pajak terutang yang dikemas dalam surat pemeberitahuan, kemudian wajib pajak mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak, dan Ditjen Pajak jugalah yang memberi putusan. Putusan gugatan itulah yang dapat diajukan ke tingkat banding yaitu dalam kewenangann pengadilan pajak. Sebagian besar gugatan tersebut ditolak, namun ketika di pengadilan pajak banding sebagian besar diterima. Hal demikianlah yang disebut dualisme Ditjen Pajak sebagai eksekutif dan yudikatif yang menjadi wilayah makelar kasus pajak. Hal inilah yang menurut penulis tidak dapat disetujui dikarenakan selain dari banding ada upaya hukum lain yang dapat diajukan ke pengadilan pajak yaitu upaya hukum gugatan.
Penulis mencoba memberi alasan mengapa diperlukan pemulihan kekuasaan dan kewenangan pengadilan pajak berdasarkan UU No. 14 TAHUN 2002. Pertama, Indonesia corruption watch (ICW) menilai potensi korupsi terbesar dalam kasus pajak adalah pengadilan pajak dengan persentase kekalahan yang dialami negara mencapai 70%-80% selama periode 2002-2009. Data ICW menyebutkan selama 2002-2009 total berkas gugatan dan banding yang masuk ke pengadilan pajak mencapai 22.249 berkas di mana 16.953 berkas diterima secara formal dan sisanya ditolak. Angka paling mengejutkan adalah total piutang negatif sebesar 1,21triliun dimana sekitar Rp. 767,76 miliar tidak didukung oleh sumber dokumen yang tidak valid (Bisnis Indonesia, 2010).
Kedua, sebelum bertolak ke London, Inggris, selasa (30/3) mantan meneteri keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa terdapat kelemahan pengadilan pajak jika dilihat dari segi rekruitmen hakim. Saat ini, sekitar 90 persen hakim yang aktif berasal dari pejabat Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai. Oleh karena itu terdapat kemungkinan terjadinya conflict of interest (Yoz, www.hukumonline.com :2010). Hal ini diperkuat dengan pernyataan sekretaris pengadilan pajak Jefri Wagiu yang menyatakan bahwa mayoritas dari 48 hakim dipengadilan pajak adalah mantan pegawai Ditjen Bea dan Cukai Kementrian Keuangan Hakim Karier yang ingin menjadi hakim pengadilan pajak harus mengikuti ujian negara yang diadakan ditjen pajak (Kompas, 2010)
Ketiga, terkait dengan pengangkatan hakim pengadilan pajak ternyata dinyatakan cacat hukum. Hal ini terkait dengan pengusulan tiga dari lima orang hakim pengadilan pajak usulan ketua pengadilan pajak (lembaga kekuasaan kehakiman) tanpa penjelasan secara yuridis oleh menteri keuangan (Suara Pembaruan, 2008). Tentu hal ini akan memberi implikasi apakah produk hukum berupa putusan dari hakim-hakim tersebut menjadi cacat hukum dan batal demi hukum. Terkait tiga faktor yang disebutkan diatas maka penulis mencoba menganalisis berdasarkan kedudukan hukum yang ada berasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun jelas, berdasarkan UU No.14 tahun 2004 pasal 15 ayat 1 menjelaskan status pengadilan pajak bahwa :
“yang dimaksud dengan pengadilan khusus dalam ketentuan ini antara lain, adalah ... dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.”
Kemudian hal ini dipertegas lagi dengan amandemen UU peradilan tata usaha negara No.9 tahun 2004 pasal 9A bahwa:
“yang dimaksud pengkhususan adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya pengadilan pajak.”
Terkait permasalahan hakim, hal tersebut juga merupakan kelemahan dari pasal 5 UU tentang pengadilan pajak yaitu tidak diintegrasikannya pengadilan pajak dibawah Mahkamah Agung (MA). Di dalam pasal disebutkan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi pengadilan pajak dilakukan oleh MA (ayat 1) sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan bagi pengadilan pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan (ayat 2).
Posisi pengadilan pajak saat ini menurut penulis akan melemahkan fungsi pengawasan dan independensi hakim dalam pengadilan pajak. Lembaga negara seharusnya menggunakan prinsip chek and balances. Pengawasan internal tentu tidaklah cukup sehingga memerlukan pengawasan eksternal. Kekuasaan yang di pegang Ditjen Pajak mengenai pajak dan keuangan negara sudah sangat luas mulai dari menentukan, mengelolah dan kali ini diperkuat dengan menghakimi. Pengadilan dalam hal ini hanyalah formalitas, seakan-akan tetrdapat chek and balance agar tidak terjadi abuse of power. Namun, pada materi muatan undang-undang kekuasaan kehakiman itupun dipangkas.
Berdasarkan Jumlah Hasil Analisis Menurut Dugaan Tindak Pidana Asal tahun 2003-2010 yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan bahwa kasus penggelapan pajak yang terjadi sebanyak 7 kasus dan 40 kasus penyuapan.
Mengenai independensi kekuasaan kehakiman, MA dalam UU No. 35 tahun 1999 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah pengawal supremasi hukum yang harus diberi kekuasaan yang independen sehingga mampu berperan sebagai katup penekan terhadap semua tindakan inkonstitusional dan pengendali serta benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan (Upholder of the rule of law). Undang-undang inilah yang menjadi pintu bagi lahirnya UU No.14 tahun 2004.
Di Indonesia dari sejak kemerdekaan 1945 sampai sekarang dapat ditemukan bagaimana politik memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap independensi lembaga peradilan dan juga hakim. Betul diakui bahwa putusan yang diucapkan oleh hakim memiliki kekuasaan yang sangat besar. Tetapi untuk menjalankan kekuasaannya itu, hakim membutuhkan bantuan eksekutif. Sesungguhnya lembaga kekuasaan kehakiman merupakan institusi politik ketatanegaraan yang paling lemah dan paling mudah terkooptasi secara politis dibandingkan dengan lembaga negara lainnya (Ball, 2003:378). Hakim hanya dapat terjun ke dalam kontroversi dalam masyarakat melalui perkara yang diperiksanya. Jika pihak-pihak yang terlibat tidak mau mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan maka hakim tidak memilki kekuasaan lebih untuk memberikan pendapat hukum atau mengambil tindakan ( Tribe, 1986:2). Oleh karena itu seringkali hakim dan lembaga peradilan direncanakan sedemikian rupa atau secara tidak sengaja menjadi alat politik oleh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif.
Contoh dalam Gayus Tambunan, Mahkamah Agung menyatakan hakim yang mengadili perkara tersebut tidak terlibat permainan dalam memberikan putusan bebas terhadap Gayus, ternyata setelah diadakan pemeriksaan oleh Komisi Yudisial, ketua majelis hakim tersebut telah menerima Rp. 50 juta untuk memberikan vonis bebas terhadapnya.
Padahal jelas dalam butir ke empat instruksi yang dikeluarkan oleh MA No. KMA/015/INST/VI/1998 yang di tujukan kepada Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding empat lingkungan peradilan dan para ketua Ketua Pengadilan Tingkat Pertama empat wilayah hukum peradilan masing-masing menghimbau para hakim untuk memantapkan profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan putusan hakim yang eksekutabel berisikan: Ethos (integritas), Pathos (pertimbangan yuridis yang utama dan pertama), Filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), dan sosiologis (sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat), serta logos (diterima dengan akal sehat), demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan pengadilan.
2.4     Upaya Solusi Masalah Perpajakan
Pengadilan perpajakan merupakan solusi komprehensif dalam menyelesaikan kasus-kasus perpajakan. Solusi seperti itu pula yang dapat menyelesaikan kasus-kasus peggelapan pajak dan juga penyuapn terhadap pegawai pajak yang diduga dilakukan oleh sejumlah perusahaan.
Seperti yang dijelaskan oleh Gunadi seorang guru besar tentang perpajakan UI (Suara Pembaruan, 2008) Belum pernah terjadi masalah penggelapan pajak diadili secara pidana. Sebab, tujuan pajak sebenarnya bukan untuk menghukum orang tapi agar uang atau hak negara tidak dimanipulasi. Kasus penggelapan pajak, di mana pun, tidak diselesaikan secara pidana, melainkan melalui pengadilan pajak. Hal tersebut juga telah dijelaskan dalam pasal 43A angka 1 hingga 4, yang jelas-jelas dikatakan bahwa penyidikan tindak pidana dilakukan bidang perpajakan dengan menugasi unit pemeriksa interal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan berdasarkan peraturan menteri keuangan. Pasal 39 hingga pasal 44B merupakan pasal yang memangkas kekuasaan pengadilan pajak yang notabenenya adalah seharusnya masuh dalam kekuasaan kehakiman.
Solusi yang dipersiapkan selanjutnya adalah reformasi birokrasi kedalam yang seharusnya dilakukan oleh Ditjen pajak. Proses bisnis di Ditjen pajak dikelompokkan pada dua kategori besar, yaitu proses bisnis yang menangani pelayanan perpajakan dan proses bisnis yang mengurusi pengawasan dan penegakan hukum. Proses bisnis pelayanan perpajakan, diantaranya meliputi pendaftaran wajib pajak, ektesifikasi, pembayaran dan pelaporan pajak serta pentuluhan dan edukasi perpajakan. Adapun, proses bisnis pengawasan kepatuhan, pemeriksaan, penyidikan, keberatan, banding, dan penaguhan (Devano&Rahayu, 2006:63-67). Dari proses bisnis seharusnya Ditjen Pajak memberikan solusi yang berlangsung terdapat titik sumber permasalahan yang akan menjadi celah terjadinya tindak pidana perpajakan. Antara lain: pertama, diproses pemeriksaan, dibentuk tim independen dari proses pemeriksaan yang berlangsung, sebagai pihak ketiga sebagai saksi dalam proses transaksi antara pemeriksa pajak dengan wajib pajak. Kedua, pada proses keberatan telah dibentuk tim eksaminasi keberatan. Tim ini bertugas menguji kelaikan atas putusan keberatan yang dikeluarkan dengan mengacu pada Standart Operating Procedure (SOP) harapannya proses keberatan menjadi transparan dan akuntebel.
Ketiga, Untuk proses bisnis banding, maka dilakukan perubahan mendasar untuk memperbaiki dengan cara mengajukan perubahan Undang-undang pengadilan pajak. Keempat, penyalahgunaan wewenang yang berasal dari pegawai Ditjen Pajak akan diantisipasi dengan Pasal 36A UU KUP yang mengatur tentang penegakan sanksi bagi pegawai pajak yang melakukan pelanggaran hukum dalam melaksanakan tugasnya, salah satu wujud perbaikan proses bisnis SDM di ditjen pajak.
Semua yang dipermasalahkan itu sebenarnya dapat diurut melalui asal-usul kedudukan pengkhususan pengadilan pajak. Walaupun hal ini pernah diajukan oleh PT Apota Wibawa Pratama kepada MK untuk dilakukan judicia review terhadap UU No.14 tahun 2002. Namun dalam sidang, putusan itu di tolak karena tidak bertentangan dengan UUD1945 baik secara materiil maupun formil, sehingga undang-undang ini tetap berkekuatan mengikat. Namun dalam dissenting opinion (pendapat yang berbeda) menjelaskan bahwa UU pengadilan pajak yang diundangkan tanggal 12 April 2002 adalah UU yang dibuat sesudah berlakunya perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 November 2001. Kedua, UU itu tidak jelas kedudukannya. Ketiga, karena pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan pengadilan tata usaha negara maka setiap badan peradilan harusnya masuk dalam sistem kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945. Keempat, ketentuan yang tercantum dalam pasal 36 ayat 4 UU pengadian pajak yang mensyaratkan upaya banding harus terlebih dahulu membayar 50 persen pajak terhutang adalah pelanggaran tetrhadap hak atas jaminan hukum yang adilyang merupakan salah satu hak asasi wajib pajak. Oleh karena itu, UU ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dan direkomendasikan untuk direvisiagar sesuai dengan UUD 1945 (Tempo,2004). Namun, tidak ada salahnya belajar dari kesalahan, yaitu dengan diterimanya rekomendasi dari Ditjen Pajak untuk dilakukan perubahan Undang-undang. 

ANALISIS KONTROVERSI PENGANGKATAN GUBERNUR LAMPUNG PERIODE 2003-2008

2.1.   Latar Belakang Serta Landasan Dikeluarkannya Keputusan Mendagri No 161.27-598 Tahun 2003.
Sehari sebelum pemilihan, 29 Desember 2002. Mendagri Hari Sabarno pada sore hari mengirim surat kawat No 121/27/2978/SJ tertanggal 29 Desember 2002 yang meminta DPRD Lampung mengklarifikasi tuduhan pidana yang melibatkan Alzier sebelum pemilihan Gubernur. Surat tersebut tidak dibacakan pimpinan DPRD (Abbas Hadisunyoto) sebelum pemilihan dilangsungkan.
Pasangan Alzier-Ansyorie merupakan pasangan calon hasil Rakerdasus PDIP Lampung pada tanggal 8 Oktober 2002 yang kemudian diusulkan ke DPP PDIP untuk disahkan. Sedangkan calon Gubernur yang diinginkan oleh DPP PDIP adalah Oemarsono (Gubernur yang sedang menjabat) dan Wakil Gubernur diserahkan kepada DPD PDIP Lampung. Keputusan ini tertuang dalam SK DPP PDIP No A.06/IN/DPP/XI/2002 tertanggal 30 November 2002. Perbedaan calon antara DPD PDIP Lampung dan DPP PDIP ini kemudian berimbas pada pergantian pimpinan DPRD Lampung (dari Srie Atidah ke Abbas Hadisunyoto) dan pimpinan FPDIP di DPRD. Pergantian ini merupakan kemenangan kelompok pro Alzier-Ansyorie. Ansyorie Yunus sendiri ketika itu merupakan Ketua DPD PDIP Lampung.
Alzier dihadapkan pada delapan tuduhan pidana. Yakni 2 kasus tuduhan penggelapan 500 ton pupuk PT Pusri PPD Lampung (2002), kasus penadah mobil curian Daihatsu Espass (2002), penggunaan gelas ilegal: drs, SE, dan MBA (2002), penipuan cek kososng dan penggelapan ruko (1993), penipuan dan penggelapan perhiasan emas (1993), penadah mobil mewah (2003), dan pencemaran nama baik Ny. Kurniati Muslihat (2003). Atas tuduhan tersebut Alzier diburu Mabes Polri untuk dikenai tahanan. Jum’at 18 April 2003 Alzier mendatangi Polda Lampung untuk menjalani pemeriksaan atas kasus-kasus tersebut. Setelah melalui pemeriksaaan maraton, Sabtu 19 April 2003 Alzier dibawa paksa melalui Helikopter dari Mapolda Lampung ke Mabes Polri. Selanjutnya 20 Agustus 2003, pemeriksaan terhadap Alzier dinyatakan selesai. Pada selasa 30 September 2003 berkas 2 perkara Alzier dari Kepolisian dinilai lengkap oleh Kejaksaan Tinggi, yakni 1 perkara dugaan penggelapan 500 ton pupuk milik PT Pusri dan 1 perkara penggunaan gelar ilegal. Melalui proses persidangan yang panjang, pada Kamis 12 Februari 2004 Alzier divonis hukuman sembilan bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun untuk kasus pupuk dan denda Rp5 juta subsider dua bulan penjara untuk kasus penggunaan gelar sarjana palsu.
Mensikapi kondisi di atas, Menteri Dalam Negeri mengambil dan mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri RI. Nomor 161.27.589  untuk membatalkan keputusan DPRD Propinsi Lampung NO. 1 Tahun 2003 Tentang Penetapan  Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih atas nama : Alzier Dianis Thabrani dan Ansyori Yunus,  dan memerintahkan untuk pemilihan ulang Gubernur Lampung dengan Surat Menteri Dalam Negeri RI.Nomor: 121.27/2989/SJ Tahun 2003.
Pembatalan Keputusan DPRD oleh Menteri Dalam Negeri di dasarkan kewenangan yang ditentukan  Pasal 10 (1)  Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pembatalan Keputusan DPRD tersebut diterima oleh DPRD Propinsi Lampung dan DPRD Propinsi Lampung tidak melakukan keberatan sebagaimana ditentukan Pasal 10 (3) PP.NO. 20 Tahun 2001.
Atas dasar yuridis di atas, maka Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 161. 27-598/2003  adalah sah secara hukum dan tidak bertentangan atau menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku dan Secara sosiologis Pemilihan ulang Gubernur Lampung diterima oleh masyarakat, hal ini dibuktikan tidak ada penolakan kepada pemilihan ulang. Mendagri juga meminta DPRD Lampung untuk menyelenggarakan pemilihan gubernur periode 2004-2009 sesegera mungkin,Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur.
Dari interen DPRD lampung sendiri membuat hak inisiatif  untuk  membatalkan pengangkatan gubernur-wakil gubernur terpilih yaitu Arziel-Anshori,hak ini akan diajukan pada pimpinan dewan untuk di agendakan dalam rapat paripurna. Hak inisiatif ini dibuat agar cepat dikeluarkannya keputusan presiden dan dengan cepat untuk melakukan pemilu ulang di Provinsi Lampung.


2.2.   Langkah-Langkah  Hukum Yang Diambil Arzile-Anshori Setelah Dikeluarkannya Keputusan Mendagri
Alzier mengajukan SK pembatalan Mendagri ke PTUN Jakarta. Pada 13 Mei 2004, PTUN jakarta memerintahkan tergugat (Mendagri) mencabut SK No 161.27/598/2003 sekaligus menerbitkan surat keputusan tentang pengusulan pengesahan pasangan gubernur-wakil gubernur hasil pemilihan tanggal 30 Desember 2002 sebagai Gubernur/Wakil Gubernur Lampung periode 2003-2008. Alasan PTUN adalah bahwa alasan pembatalan pelantikan keduanya tidak jelas, tidak tegas, dan tidak limitatif sebagaimana seharusnya suatu keputusan. Surat pembatalan pelantikan tidak merinci dan tegas, jelas, dan limitatif pelaksanaan pemilihan gubernur/wakil gubernur yang mana atau bagian mana yang tidak memenuhi prosedur. Surat pembatalan juga tidak menegaskan peraturan perundang-undangan mana yang tidak dipenuhi.
Mendagri kemudian mengajukan banding, sambil banding diajukan, Mendagri tetap memproses pemilihan ulang gubernur/wakil gubernur Lampung. Kemudian, PTTUN pada tanggal 19 Oktober 2004 mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PTUN yakni mengabulkan gugatan Alzier-Ansyorie.
Pasca putusan ini, Mendagri M. Ma’ruf AR mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya pada 17 Juni 2004 Mahkamah Agung memenangkan gugatan Alzier dengan menguatkan putusan PTUN dan PTTUN Jakarta. Putusan kedua pengadilan di bawah MA itu membatalkan dua Surat Keputusan Mendagri tertanggal 1 Desember 2003. Menyikapi putusan MA tersebut, DPRD Lampung menggelar Rapat Paripurna DPRD minus anggota DPRD dari PDIP yang tidak setuju apabila DPRD harus menyikapi putusan MA. Dalam Rapat Paripurna 14 Juli 2005 tersebut DPRD Lampung menyatakan tidak mengakui Gubernur Syachroedin-Wakil Gubernur Syamsurya Ryacudu dan memohon Presiden lewat Mendagri mencabut Kepres pengangkatan Syachroedin-Syamsurya dan melantik Alzier-Ansyorie.
Namun demikian, pemerintah tidak juga melakukan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung tersebut. Hal ini mengakibatkan konflik politik antara pendukung Alzier versus Syachroedin yang kemudian menghambat kelancaran jalannya pemerintahan di Provinsi Lampung sebelumnya, pada 2005 lalu, kubu Alzier-Ansori menang di tingkat Mahkamah Agung (MA) setelah berhasil membatalkan Surat Keputusan Mendagri yang mengusulkan Sjahroedin-Syamsurya sebagai pasangan Gubernur dan Wagub. Kini, giliran para pendukung Alzier-Ansyori yang menempuh upaya hukum demi mengantarkan keduanya ke tampuk pimpinan. Sebanyak 46 kelompok masyarakat Lampung pendukung Alzier secara bersama-sama melayangkan gugatan perwakilan kelompok (class action) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Mereka menggugat Presiden (Tergugat I), Menteri Dalam Negeri (Tergugat II) dan Sjachroedin-Syamsurya (Tergugat III).
Di mata pendukungnya,  Alzier-Ansyori adalah pihak yang paling sah untuk menduduki kursi Gubernur dan Wagub Lampung. Hal itu karena Alzier-Ansyori dianggap telah melalui proses pemilihan yang sah menurut hukum. Selain itu, putusan MA yang membatalkan surat keputusan Mendagri kian menguatkan posisi Alzier-Ansyori. Namun, putusan hukum ternyata tidak memberikan jaminan. Buktinya, hingga kini Alzier-Ansyori tidak bisa merasakan duduk manis di singgasana kekuasaan.

2.3.   Kekuatan Hukum DPRD Lampung Mengusulkan Pencabutan SK Pemberhentian Gubernur.
Dalam kasus ini DPRD ikut terlibat hal itu disebabkan SK yang dikeluarkan Mendagri dimana melangkahi prosedur dalam pengambilan keputusan untuk memberhentikan dan menentukan gubernur lampung,yang mana itu merupakan Wewenang DPRD lampung. Adapun yang menjadi kekuatan hukum yang dimiliki DPRD dalam mengusulkan pencabutan SK Mendagri.   
Pertama, SK No 15 Tahun 2005 itu nyata-nyata merupakan keputusan yang bertentangan dengan kewenangan DPRD Provinsi Lampung, sebagaimana diatur dalam UU No 22 Tahun 2003 yang memberikan kewenangan kepada DPRD Provinsi untuk memberhentikan Gubernur. Yang benar adalah DPRD hanya berwenang mengusulkan pemberhentian Gubernur dengan alasan-alasan yang secara limitatif telah diatur secara tegas oleh UU No 32 Tahun 2004.
Kedua, SK No. 15 Tahun 2005 itu telah dibatalkan keputusan Pengadilan Tinggi Lampung, karena bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta tidak mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, sepatutnya dicabut oleh DPRD Provinsi Lampung.
Ketiga, SK No. 15 Tahun 2005 nyata-nyata merugikan rakyat Lampung, dapat menimbulkan ketidakstabilan politik, rawan konflik, serta dapat menimbulkan preseden buruk dalam ketatanegaraan dan sistem pemerintahan yang dapat meluas ke daerah/provinsi lain di Indonesia. Keempat, SK No. 15 Tahun 2005 telah kehilangan eksistensi dan legitimasinya karena tidak didukung oleh cukup dukungan dari DPRD Provinsi Lampung.
Karena itu, mereka meminta pimpinan DPRD Provinsi Lampung untuk mengagendakan pencabutan SK DPRD Provinsi Lampung No. 15 Tahun 2005 menurut ketentuan Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi Lampung. Masing-masing fraksi, dalam pandangannya menyimpulkan; Fraksi Demokrat, Fraksi PDIP, Fraksi FBPR, tiga orang perwakilan Fraksi PAN (menggunakan hak selaku anggota dewan), dan dua perwakilan Fraksi PKB (menggunakan hak selaku anggota dewan), menyetujui pencabutan SK tersebut.
Selain itu, Rapat Paripurna juga membuat catatan khusus, terkait Badan Kehormatan (BK) dan para anggota DPRD yang dinilai tidak menjalankan fungsi dan kewajibannya.
Pertama, dicabutnya legitimasi BK dan menolak semua keputusan yang diambil BK, karena BK dinilai telah berpihak. Kedua, meminta Gubernur agar mengusulkan kepada Mendagri selaku Pembina Pemerintah Daerah dan Politik untuk menjatuhkan sanksi administrasi dan keuangan kepada anggota DPRD yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya. Catatan-catatan itu akan ditindaklanjuti sesuai prosedur dan mekanisme peraturan, serta tata tertib dewan yang berlaku.

2.4.   Analisis Kelompok
Berdasarkan penjabaran kedudukan kasus konflik kepala daerah di lampung kelompok mencoba menganalisisnya dari sudut pandang teori hukum yang ada. Berdasarkan putusan MA No 473 pada prinsipnya mengatakan: (1) Tidak sah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 161.27-598 tahun 2003 tentang pembatalan pasangan Alzier Dianis Thabrani dan Ansyori Yunus (Kepmendagri 161); (2) tidak sah Surat Mendagri Nomor 121.27/2989/SJ tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Lampung Periode 2003 – 2008 (Surat Mendagri 121); dan (3) Menolak gugatan penggugat selebihnya, termasuk menolak gugatan untuk menerbitkan Surat Pengesahan Alzier dan Ansyori sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung terpilih.
Dengan mendalilkan kepmendagri dan surat mendagri tidak sah, namun juga memutuskan Alzier tidak bisa menjadi gubernur karena ada keadaan hukum baru dan telah eksisnya gubernur syachroedin, itu berarti putusan MA 437 bersifat ex nunc.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 A UUD 1945, MA berwenang untuk menguji pertauran perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Mengenai sifat putusannya, dalam Pasal 31A ayat (6) dan (7) UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua UU 14/85 tentang MA, disebutkan MA hanya berwenang untuk menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. MA tidak berwenang memerintahkan kepada instansi terkait—yang mengeluarkan peraturan—untuk membatalkan segala keputusan yang disandarkan pada peraturan yang diuji.
Pengujian yang dilakukan oleh MA dapat berupa pengujian terhadap regeling (peraturan) dan beschiking (keputusan). Biasanya pengujian terhadap keputusan berlaku asas retroaktif atau ex tunc atau berlaku surut. Hal ini dikarenakan untuk merehabilitasi hak-hak korban akibat perilaku sewenang-wenang si pembuat keputusan. Bilamana terdapat keadaan hukum baru (terpilihnya syaroedin menjadi gubernur baru) yang memiliki implikasi luas bisa saja putusannya bersifat ex nunc.
Dapat ditarik kesimpulan, Putusan Kasasi M.A. RI No. 437.K/TUN/2004, tidak berpengaruh terhadap pengembalian Alzir dan Ansyori sebagai Gubernur dan Wakil gubernur Lampung. Alasannya, pertama, UU MA tidak memberikan kewenangan kepada MA untuk memerintahkan kepada pembuat peraturan, guna membatalkan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang diuji. Kedua, demi menyelamatkan kepentingan umum yang lebih luas, sudah selayaknya putusan MA ditafsirkan bersifat ex nunc. Artinya, walaupun MA membatalkan Putusan Kasasi M.A. RI No. 437.K/TUN/2004, tetapi tidak secara otomatis membatalkan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan oleh peraturan tersebut. 

MAKNA KEBEBASAN PERS DAN POLITIK DEMOKRASI

Geliat pers Indonesia akhir-akhir ini membawa perubahan besar dalam perwujudan demokrasi. Pers mencoba kembali menyambung hubungan aspirasi masyarakat dengan pemerintah yang sempat tersendat di era orde baru. Reformasi digulirkan, maka pers pun berbenah dan memperkuat eksistensinya. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya produk Undang-Undang no 40 tahun 1999 tentang pers. Setahun setelah reformasi berjalan.
Perjalanan 11 tahun setelah reformasi, pers dari otoriteran beralih menjadi pers tanggung jawab sosial. Negara mengusung politik demokrasi sebagai jargon utama dalam segala aspek. Semua ruang gerak bertemakan demokrasi. Demokrasi adalah lambang dari kebebasan yang berasaskan konstitusional. Sama halnya dengan pers menuntut sebuah kebebasan dalam menyuarakan pendapat dan realita yang terjadi di masyarakat.
Namun muncul ironi bahwa pers menjauh dari prinsip-prinsip kebenaran dan hanya menjual komersialitas. Atau bahkan pers kini telah menjelma menjadi polisi langsung bagi masyarakat. Tidak menjadi masalah jika pengemasannya secara benar dan tidak berat sebelah. Namun kini pers dan politik sedikit banyak telah beteman baik.
Cita-cita menjadi penyambung lidah rakyat yang baik sebenarnya itulah sebuah harapan. Namun, determinasi kata ‘baik’ inilah kemudian yang disalahartikan. Benar jika tidak ada informasi yang dilebihkan dan dikurangkan.  Oleh karena itulah adanya sebuah kode etik yang disepakati antar wartawan.
1.      KEDUDUKAN PERS DI INDONESIA
Pers di Indonesia merupakan lembaga sosial yang telah dijamin keberadaannya dengan payung hukum UU no 40 tahun 1999 tentang pers. Munculnya undang-undang ini secara legalitas formil merupakan penjabaran dari pasal 28 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak berpendapat.
Pers memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Ada yang berubah ketika membicarakan tentang kedudukan pers di Indonesia. Tahun 1998, reformasi telah mengubah seluruh tatanan Negara dan masyarakat. Sumbat demokrasi, dalam hal ini pers, kini tidak dapat dibungkam dan disetir oleh pemerintah. Dulu perusahaan pers harus bersiap diberendel jika ada sebuah tulisan yang menjelekan pamor pemerintahan, kini budaya pembrendelan sudah tidak berlaku.
Ketika orde baru semua berita terkesan sebagai pesanan pemerintah untuk mendongkrak pencitraan pemerintahan dan legitimasi kekuasaan atau disebut patner in progress.(Masduki, 2007:63)
Namun peran penting dari pers berdasakan pasal 6 telah mengaturnya. Untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokratis, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM serta kebhinekaan. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dan juga memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Sebuah peranan yang mulia dalam menyalurkan amanat.
Untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers maka dibentuklah Dewan Pers yang independen. Seperti yang dilansir dalam pasal 15. Dewan pers ini selanjutnya akan memantau dan menilai fungsi sosial dari pers.
2.      TEORI PERS
Siebert (dalam Masduki, 2007:63) membagi empat teori besar sebuah pers, yaitu: (1) totalitarian teori, (2) libertarian teori, (3) komunis teori, (4) teori pertanggungjawaban sosial. Keempat teori ini memiliki masanya masing-masing dengan berbagai tujuan dan fungsinya. Pers otoriterian merupakan alat propaganda pemerintah dan fungsinya sebagai justifikasi kebenaran pendapat pemerintah terhadap berbagai masalaha yang muncul dimasyarakat.
Teori liberal muncul sebagai anti tesis teori otoriterian dan menyatakan bahwa pers bukan alat pemerintahan dan bisa dimiliki secara pribadi. Namun industrialisasi membuat kepemilikan media hanya terpusat pada pemodal besar yaitu kepentingan pemodal untuk balik modal. Hal ini menyebabkan control berada ditangan pemilik modal.
Oleh karena itu munculah teori pers tanggung jawab sosial. Teori ini mengadopsi filosofis diversity of ownership dan diversity of content. Prinsipnya adalah penciptaan ruang publik (public sphere). Pers harus menjamin kesetaraan akses semua pihak untuk berbicara lewat media sebab control media diletakkan pada opini masyarakat, yakni preferensi konsumen, dan standart professional. Untuk menjamin kepentingan umum, dimungkinkan adanya intervensi Negara secara terbatas.
3.      MAKNA KEBEBASAN PERS DAN POLITIK DEMOKRASI
Pers menurut Undang-Undang no 40 tahun 1999 adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisaan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
“ Saya menghargai kemerdekaan pers sebagaimana menghargai demokrasi” begitulah pernyataan yang dikeluarkan oleh presiden jika ditanya mengenai tanggapan beliau tentang pers. Pers dan demokrasi memang bagaikan dua permukaan sebuah koin. Sebuah Negara dikatakan demokratis jika kebebasan pers dijamin secara politik maupun hukum. Symbol sebuah demokrasi adalah kebebasan. Namun ketika kebebasan berada ditangan seseorang yang tidak berpendidikan maka seperti kapal tanpa nahkoda.
Makna pers bisa dipahami dari eksistensi keberadaanya dalam sebuah Negara dan juga aktor-aktor (wartawan) dibelakangnya. Eksistensi sebuah lembaga pers dalam sebuah Negara bisa dipengaruhi banyak hal, salah satunya adalah politik. Kesedaran sekumpulan orang yang berkeinginan untuk mengubah dunia melalui tulisan dari informasi yang terdapat di masyarkat. Ada sebuah slogan yang menyatakan bahwa pers adalah penyambung lidah rakyat. Ibarat sebuah kabel yang terdiri dari bebagai komponen. Jika salah satunya rusak atau berlebihan maka jatuhnya tidak seimbang bahkan tidak bermakna.
Seorang wartawan dituntut memiliki “semangat dan kepekaan yang tinggi” begitulah yang dikatakan seorang wartawan senior Jakob Oetama. Ada sebuah niatan mulia yang ingin dicapai pers yaitu bagaimana komunitas ini terus menerus menggugah kemajuan di masyarakat. dan juga menyatakan bahwa kebenaran senantiasa ada. Hal itu dilansir demikian "Sekalipun makna kebenaran ini harus didapat dengan susah payah. Pers harus mencerminkan bahwa kebenaran bagi rakyat senantiasa ada. Ini pula makna pers dalam demokrasi,"
Demokrasi memiliki prinsip pokok yakni martabat manusia dan hak-hak asasi yang dihormati dan dilidungi tanpa diskriminasi. Demokrasi juga mempunyai apa yag disebut sebagai hak-hak sipil yang dijamin secara konstitusional.
Terkait dengan makna demokrasi yang selalu diusung oleh pers, maka McQuaill menambakan relevansi teori demokratis partisipan (Masduki, 2007:67). Teori ini menyatakan bahwa warga Negara secara individual dan kelompok minoritas memiliki hak pemanfaatan media komunikasi dan hak untuk dilayani oleh media sesuai dengan kebutuhan yang mereka tentukan sendiri. Organisasi dan isi media tidak tunduk pada pengendalian politk yang dipusatkan atau dikendalikan oleh birokrasis Negara, kelompok, organisasi, dan masyarakat local.
Adalah benar kebebasan per itu dikaitkan dengan paham politik dan konstitusi, yakni jaminan atas hak untuk bebas menyatakan pendapatnya secara lisan maupu tulisan bahkan keduanya. Kenali prinsip dan karakter sebuah pers.
Kebebasan pers juga diperlukan agar masyarakat dapat memperoleh apa yang dikatakan oleh Dhal sebagai “the avaibility of alternative and independent source of information” (dalam Oetomo, 2001:76)
Ada indikasi bahwa pers di Indonesia kini telah kebablasan dalam menyiarkan sebuah informasi. Mulai dari gossip, kekerasan, criminal, investigasi, dan sex tetap bertahan bahkan menjadi rating  nomer 1. Hal itu menurut pandangan psikologis dan sosiologis bahwa sensasional tersebut memenuhi kebutuhan manusia (Oetomo, 2001: 24)
Dari kesemuaannya itu, pengadilan merupakan tumpuan dari kebebasan. (Oetomo, 2001: 106). Oleh karena itulah lembaga pengadilan dan para penegak hukum menjadi tuntutan gerakan reformasi. Sebuah Negara yang siap berdemokrasi maka siap dengan aturan hukum dan pengadilannya. Ketika pers adalah sahabat karib dari demokrasi maka pengawal dari itu semua adalah penegak hukum dan pengadilan.

Rabu, 27 Oktober 2010

TRANSFORMASI PERAN AGAMA DALAM BUDAYA DEMOKRASI LOKAL TERHADAP DEMOKRATISASI di INDONESIA


Budaya di dalam politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh beragam faktor antara lain: budaya asli masyarakat Indonesia, budaya impor sisa peninggalan penjajah kolonial atau lingkungan internasional, dan budaya campuran (akulturasi) keduanya. Budaya politik akan menentukan pola pemerintahan dalam menjalankan kekuasaannya. Namun jika kita membahas mengenai demokrasi lokal maka agama memberikan sebagian perannya di dalam pengembangan demokratisasi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Indonesia merupakan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pembahasan tentang demokrasi seringkali tidak terlepas dari berbagai aspek seperti pemilihan umum, peran paartai politik, dan sistem pemilihan lembaga eksekutif dan legislatif. Lemabaga-lembaga tersebut memamg memberi makna signifikan terhadap diterapkannya prinsip-prinsip demokrasi, terutama dalam tataran demokrasi tingkat nasional. Berbeda dengan Hans Antelov & Pratchett (Prasetyo & Hadiwinata dalam makalah seminar) yang menyatakan konsep local autonomy dan local democrazy bahwa dinamika demokrasi lokal jauh memberi arti lebih bagi masyarakat awam, terutama dalam hal partisipasi, kebebasan pendapat dan pendidikan politik.
Suku Jawa merupakan penganut agama Islam terbesar di pulau Jawa yang mencapai 2/3 penduduknya, sehingga dapat dibayangkan sejauh mana peranan Islam, baik itu dari kalangan santri (penganut Islam taat) ataupun dari kalangan abangan, pada keseluruhan masyarakat Indonesia yang 90% menganut agama Islam.
Dalam local autonomy tentu tidaklah terlepas oleh tokoh-tokoh adat sebagai panutan dan aktivitas yang dilakukan oleh warga lokal. Terdapat keterkaitan antara tindakan politik yang dilakukan oleh tokoh adat yang akan berpengaruh terhadap corak keseragaman politik di masyarakatnya. Hal demikian tentu tidak terlepas dari budaya hirarki kerajaan. Ada sebuah kepasrahan dan keyakinan yang menitik beratkan masyarakat Indonesia pada seseorang yang dinamakan sebagai orang pilihan yang memiliki pengetahuan yang lebih. Sehingga masyarakat lebih meyakini apa yang dikatakan tokoh adat dibandingkan dengan pendapat diri sendiri. Di sisi itulah peran agama memberikan arti penting dalam budaya demokrasi lokal.
1.        KETERKAITAN JUDUL DALAM TELAAH TEORI
Agama adalah sebuah kepercayaan yang diyakini seseorang terhadap tuhannya serta ajaran-ajarannya. Agenda pokoknya adalah membangun keimanan dan etika sosial atau akhlak mulia, bukan hanya sekedar pada formalisme simbolik dan memperbanyak partai-partai agama (Hidayat, 2006:117). Kemuliaan disini dapat direalisasikan dalama wujud penerapan dan pengembangan etika terutama dalam dunia politik, sosial, dan ekonomi dari sebuah masyarakat bangsa. Namun jika inti dari sebuah agama yang disandingkan dengan politik dapat merubah konsep susunan sebuah agama menjadi materialistik tentu akan merubah konsep awal menjadi konsep yang baru. Penguatan konsep nilai-nilai luhur sebuah agama di negara demokratis kini berubah menjadi sebuah kekuatan politik baru dalam bentuk kepartaian.
Hal tersebut didukung oleh budayawan politik, Albert Widjaja yang menyatakan bahwa budaya politik merupakan aspek politik yang terdiri dari sistem nilai-nilai seperti ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Masyarakat mengakui sistem nilai tersebut, sebagian atau keseluruhannya. Latar belakang pemahaman terhadap budaya politik akan memberikan penilaian logis untuk menolak ataupun menerima nilai lain atau baru.  Lebih lanjut, Widjaja menyandingkan konsep budaya politik dengan idelogi, yang berarti sikap mental, pandangan hidup, dan struktur pemikiran.  Budaya politik merupakan kesatuan pandangan di dalam masyarakat, sedangkan pandangan individu yang khusus masih perlu dipernyatakan keberlakuannya.
Letak agama disini sebagai media untuk membentuk keseragaman pandangan di dalam masyarakat yang nantinya dalam sistem politik Indonesia akan menjadi penguat dan unsur dalam demokratisasi di Indonesia. Salah satu dengan adanya demokrasi lokal. Mengingat bahwa sebagian besar wilayah Indonesia berupa pedesaan dalam pengembangan demokrasi nasional.
Demokrasi lokal dapat dipahami sebagai aktivitas-aktivitas seleksi kepemimpinan, representasi, kontrol warga terhadap pemimpinnya, chek and balances, dan bahkan pembuatan keputusan yang melibatkan komunitas setempat baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal yang membedakan antara demokrasi lokal dengan demokrasi lainnya adalah, bahwa pada demokrasi lokal terdapat unsur otonomi lokal yang menyangkut kebebasan dari intervensi pusat, dan kebebasan dalam merefleksikan nilai-nilai dan norma-norma lokal. Adanya demokrasi lokal ini terkadang dilupakan keberadaanya oleh kalangan elit politik pusat. Dengan mendudukung dan memberi pehatian tehadap demokarsi lokal tentu akan lebih membantu sosialisasi dan pendidikan politik di Indonesia.
Dalam konteks pedesaan di Indonesia, Hans Antelov (Prasetyo & Hadiwinata dalam makalah seminar 2006:9) menyatakan bahwa praktek politik pedesaan mengenal dua macam otoritas. Otoritas informal yang terkait dengan kemampuan individu tertentu untuk mendapatkan pendukung setia, mendapat hormat serta respek dari masyarakat seperti status keluarga, pengetahuan agamaa, intelektual dan sebagainya. Otoritas seperti ini biasanya dimiliki oleh pemuka agama, pemuda, aktivis, guru, dan lain-lain. Kedua, otoritas formal administratif yang menyangkut kekuasaan yang dilindungi oleh mandat-mandat resmi, didukung dengan akses keuangan negara, dan dijalankan melalui kebijakan-kebijakan resmi pemerintah. Otoritas semacam ini dimiliki oleh kepala desa, kepala sertifikat pemerintah, kepala dusun, ketua anggota BPD dan lain sebagainya.
Transformasi adalah peruabahan rupa, bentuk, sifat, dan fungsi (KBBI:2005). Dikatakan bahwa peran agama dalam demokrasi lokal telah ditransfomasikan menjadi sebuah wujud baru dan salah satu unsur dari demokratisasi sistem politik di Indonesia. Transformasi praktek-praktek keagamaan di tingkat lokal, secara langsung maupun tidak langsung banyak dipengaruhi oleh kebijakan politik penguasa.
Ada banyak perubahan yang mendasar, baik yang terkait dengan pokok-pokok ajaran, yang sebenarnya berakar pada kepentingan dan konteks lokal kini menjadi sarat akan kepentingan kelompok. Serta praktek perpindahan menjadi sarana untuk memperkuat persatuan lokal. Selain itu agama juga mampu memberikan perlindungan dari tekanan poitik.
Sebagai masyarakat desa transformasi ini diterima dalam keadaan setengah sadar. Sebagai contoh, dalam sebuah pengajian terdapat ceramah dimana sang ustad atau pun ustadzah memberikan ceramah mengenai issue bahwa golput berdasarkan fatwa adalah haram hukumnya beserta dalil-dalilnya. Ketika diakhir ceramah sang penceramah memberikan seloroh mengenai salah satu partai yang diusungnya beserta kalimat-kalimat kampanyenya yang diperhalus.
Berikut petikan yang diperoleh dari jurnal Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta (2008:7-10)
“Saya itu ndak tahu apa itu politik, tapi setiap acara pengajian dan sholawatan,Ibu Nyai dan Pak Kiai seusai acara sholawatan selalu berceramah tentang partai. Partai yang didirikan NU yang perlu didukung. Kalau tidak ada pemilu, ya cuma pengajian aja, sambil ngobrol kesana kemari.”
(saripah, 7 April 2004)
“Pemilu lalu saya coblos PKB, ya sekarang juga coblos PKB, pokoknya saya pasrahkan saja urusan politik itu pada kiai karena saya juga tidak tahu politik.”
(ponirah,5 April 2004)
Artinya mereka pada akhirnya sadar akan haknya sebagai warga negara untuk ikut berpartisispasi dalam pesta demokrasi, tetapi dilain pihak mereka secara tidak sadar telah terdoktrin dengan partai yang didukung sang penceramah.
Dengan pengkombinasian otoritas informal dan otoritas formal yang dimiliki dan didasari pada rasa segan, sungkan, hormat dalam sebuah forum ternyata mampu mempermudah pencapaian kompromi. Pada kadar tertentu mekanisme semacam ini mirip dengan apa yang disebut Hebermas sebagai deliberative democracy, yaitu partisipasi langsung masyarakat dalam bentuk diskusi dan dialog dalam menentukan pembuatan kebijakan pemerintahan. Dengan demikian jelas adanya bahwa demkrasi pada tingkat lokal dapat mempengaruhi dan menopang perkembangan demokrasi pada lingkup yang lebih luas.
2.        KESIMPULAN
Dari paparan argumen diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam demokrasi lokal terdapat sebuah transformasi peran agama yang menjadikan sifat, bentuk dan fungsi agama berubah menjadi penguat serta pelindung dari kekuasaan politik. Namun hal itu tentu memberikan corak baru tentang bagaimana demokratisasi di Indonesia bila peran agama menjadi salah satu aktor dalam politik.

DAFTAR RUJUKAN
Hidayat, Komaruddin.2006. Politik Panjat Pinang: Dimana Peran Agama. Jakarta: Kompas.
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2005. Makalah Dinamika Low Politics: Kontribusi Demokrasi Lokal (Pedesaan) Terhadap Deokratisasi Di Indonesia.
DS, Pradjarta&Septianingsih, Haryani. 2005. Makalah Kontradiksi Dalam Hubungan Pusat Dan Pinggiran, Strategi Mempertahankan Identitas Dan Kelangsungan Agama Di Tingkat Lokal.
Budaya dan Etika Politik Dalam Sistem Politik Indonesia: Bangsa Besar yang Sakit. http://raconquista.wordpress.com [diakses 8 Juni 2009]
Rozaki, Abdur. 2008. Pemilu 2004 Di Madura:Pertarungan Ideologi Kiai, Kerabat, Dan Uang. Februari,vol I.[diakses tanggal 8 Juni 2009]
2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Apolo.