posKu

  • budaya
  • hukum
  • politik
  • lifestyle
  • humor

Rabu, 27 Oktober 2010

TRANSFORMASI PERAN AGAMA DALAM BUDAYA DEMOKRASI LOKAL TERHADAP DEMOKRATISASI di INDONESIA


Budaya di dalam politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh beragam faktor antara lain: budaya asli masyarakat Indonesia, budaya impor sisa peninggalan penjajah kolonial atau lingkungan internasional, dan budaya campuran (akulturasi) keduanya. Budaya politik akan menentukan pola pemerintahan dalam menjalankan kekuasaannya. Namun jika kita membahas mengenai demokrasi lokal maka agama memberikan sebagian perannya di dalam pengembangan demokratisasi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Indonesia merupakan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pembahasan tentang demokrasi seringkali tidak terlepas dari berbagai aspek seperti pemilihan umum, peran paartai politik, dan sistem pemilihan lembaga eksekutif dan legislatif. Lemabaga-lembaga tersebut memamg memberi makna signifikan terhadap diterapkannya prinsip-prinsip demokrasi, terutama dalam tataran demokrasi tingkat nasional. Berbeda dengan Hans Antelov & Pratchett (Prasetyo & Hadiwinata dalam makalah seminar) yang menyatakan konsep local autonomy dan local democrazy bahwa dinamika demokrasi lokal jauh memberi arti lebih bagi masyarakat awam, terutama dalam hal partisipasi, kebebasan pendapat dan pendidikan politik.
Suku Jawa merupakan penganut agama Islam terbesar di pulau Jawa yang mencapai 2/3 penduduknya, sehingga dapat dibayangkan sejauh mana peranan Islam, baik itu dari kalangan santri (penganut Islam taat) ataupun dari kalangan abangan, pada keseluruhan masyarakat Indonesia yang 90% menganut agama Islam.
Dalam local autonomy tentu tidaklah terlepas oleh tokoh-tokoh adat sebagai panutan dan aktivitas yang dilakukan oleh warga lokal. Terdapat keterkaitan antara tindakan politik yang dilakukan oleh tokoh adat yang akan berpengaruh terhadap corak keseragaman politik di masyarakatnya. Hal demikian tentu tidak terlepas dari budaya hirarki kerajaan. Ada sebuah kepasrahan dan keyakinan yang menitik beratkan masyarakat Indonesia pada seseorang yang dinamakan sebagai orang pilihan yang memiliki pengetahuan yang lebih. Sehingga masyarakat lebih meyakini apa yang dikatakan tokoh adat dibandingkan dengan pendapat diri sendiri. Di sisi itulah peran agama memberikan arti penting dalam budaya demokrasi lokal.
1.        KETERKAITAN JUDUL DALAM TELAAH TEORI
Agama adalah sebuah kepercayaan yang diyakini seseorang terhadap tuhannya serta ajaran-ajarannya. Agenda pokoknya adalah membangun keimanan dan etika sosial atau akhlak mulia, bukan hanya sekedar pada formalisme simbolik dan memperbanyak partai-partai agama (Hidayat, 2006:117). Kemuliaan disini dapat direalisasikan dalama wujud penerapan dan pengembangan etika terutama dalam dunia politik, sosial, dan ekonomi dari sebuah masyarakat bangsa. Namun jika inti dari sebuah agama yang disandingkan dengan politik dapat merubah konsep susunan sebuah agama menjadi materialistik tentu akan merubah konsep awal menjadi konsep yang baru. Penguatan konsep nilai-nilai luhur sebuah agama di negara demokratis kini berubah menjadi sebuah kekuatan politik baru dalam bentuk kepartaian.
Hal tersebut didukung oleh budayawan politik, Albert Widjaja yang menyatakan bahwa budaya politik merupakan aspek politik yang terdiri dari sistem nilai-nilai seperti ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Masyarakat mengakui sistem nilai tersebut, sebagian atau keseluruhannya. Latar belakang pemahaman terhadap budaya politik akan memberikan penilaian logis untuk menolak ataupun menerima nilai lain atau baru.  Lebih lanjut, Widjaja menyandingkan konsep budaya politik dengan idelogi, yang berarti sikap mental, pandangan hidup, dan struktur pemikiran.  Budaya politik merupakan kesatuan pandangan di dalam masyarakat, sedangkan pandangan individu yang khusus masih perlu dipernyatakan keberlakuannya.
Letak agama disini sebagai media untuk membentuk keseragaman pandangan di dalam masyarakat yang nantinya dalam sistem politik Indonesia akan menjadi penguat dan unsur dalam demokratisasi di Indonesia. Salah satu dengan adanya demokrasi lokal. Mengingat bahwa sebagian besar wilayah Indonesia berupa pedesaan dalam pengembangan demokrasi nasional.
Demokrasi lokal dapat dipahami sebagai aktivitas-aktivitas seleksi kepemimpinan, representasi, kontrol warga terhadap pemimpinnya, chek and balances, dan bahkan pembuatan keputusan yang melibatkan komunitas setempat baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal yang membedakan antara demokrasi lokal dengan demokrasi lainnya adalah, bahwa pada demokrasi lokal terdapat unsur otonomi lokal yang menyangkut kebebasan dari intervensi pusat, dan kebebasan dalam merefleksikan nilai-nilai dan norma-norma lokal. Adanya demokrasi lokal ini terkadang dilupakan keberadaanya oleh kalangan elit politik pusat. Dengan mendudukung dan memberi pehatian tehadap demokarsi lokal tentu akan lebih membantu sosialisasi dan pendidikan politik di Indonesia.
Dalam konteks pedesaan di Indonesia, Hans Antelov (Prasetyo & Hadiwinata dalam makalah seminar 2006:9) menyatakan bahwa praktek politik pedesaan mengenal dua macam otoritas. Otoritas informal yang terkait dengan kemampuan individu tertentu untuk mendapatkan pendukung setia, mendapat hormat serta respek dari masyarakat seperti status keluarga, pengetahuan agamaa, intelektual dan sebagainya. Otoritas seperti ini biasanya dimiliki oleh pemuka agama, pemuda, aktivis, guru, dan lain-lain. Kedua, otoritas formal administratif yang menyangkut kekuasaan yang dilindungi oleh mandat-mandat resmi, didukung dengan akses keuangan negara, dan dijalankan melalui kebijakan-kebijakan resmi pemerintah. Otoritas semacam ini dimiliki oleh kepala desa, kepala sertifikat pemerintah, kepala dusun, ketua anggota BPD dan lain sebagainya.
Transformasi adalah peruabahan rupa, bentuk, sifat, dan fungsi (KBBI:2005). Dikatakan bahwa peran agama dalam demokrasi lokal telah ditransfomasikan menjadi sebuah wujud baru dan salah satu unsur dari demokratisasi sistem politik di Indonesia. Transformasi praktek-praktek keagamaan di tingkat lokal, secara langsung maupun tidak langsung banyak dipengaruhi oleh kebijakan politik penguasa.
Ada banyak perubahan yang mendasar, baik yang terkait dengan pokok-pokok ajaran, yang sebenarnya berakar pada kepentingan dan konteks lokal kini menjadi sarat akan kepentingan kelompok. Serta praktek perpindahan menjadi sarana untuk memperkuat persatuan lokal. Selain itu agama juga mampu memberikan perlindungan dari tekanan poitik.
Sebagai masyarakat desa transformasi ini diterima dalam keadaan setengah sadar. Sebagai contoh, dalam sebuah pengajian terdapat ceramah dimana sang ustad atau pun ustadzah memberikan ceramah mengenai issue bahwa golput berdasarkan fatwa adalah haram hukumnya beserta dalil-dalilnya. Ketika diakhir ceramah sang penceramah memberikan seloroh mengenai salah satu partai yang diusungnya beserta kalimat-kalimat kampanyenya yang diperhalus.
Berikut petikan yang diperoleh dari jurnal Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta (2008:7-10)
“Saya itu ndak tahu apa itu politik, tapi setiap acara pengajian dan sholawatan,Ibu Nyai dan Pak Kiai seusai acara sholawatan selalu berceramah tentang partai. Partai yang didirikan NU yang perlu didukung. Kalau tidak ada pemilu, ya cuma pengajian aja, sambil ngobrol kesana kemari.”
(saripah, 7 April 2004)
“Pemilu lalu saya coblos PKB, ya sekarang juga coblos PKB, pokoknya saya pasrahkan saja urusan politik itu pada kiai karena saya juga tidak tahu politik.”
(ponirah,5 April 2004)
Artinya mereka pada akhirnya sadar akan haknya sebagai warga negara untuk ikut berpartisispasi dalam pesta demokrasi, tetapi dilain pihak mereka secara tidak sadar telah terdoktrin dengan partai yang didukung sang penceramah.
Dengan pengkombinasian otoritas informal dan otoritas formal yang dimiliki dan didasari pada rasa segan, sungkan, hormat dalam sebuah forum ternyata mampu mempermudah pencapaian kompromi. Pada kadar tertentu mekanisme semacam ini mirip dengan apa yang disebut Hebermas sebagai deliberative democracy, yaitu partisipasi langsung masyarakat dalam bentuk diskusi dan dialog dalam menentukan pembuatan kebijakan pemerintahan. Dengan demikian jelas adanya bahwa demkrasi pada tingkat lokal dapat mempengaruhi dan menopang perkembangan demokrasi pada lingkup yang lebih luas.
2.        KESIMPULAN
Dari paparan argumen diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam demokrasi lokal terdapat sebuah transformasi peran agama yang menjadikan sifat, bentuk dan fungsi agama berubah menjadi penguat serta pelindung dari kekuasaan politik. Namun hal itu tentu memberikan corak baru tentang bagaimana demokratisasi di Indonesia bila peran agama menjadi salah satu aktor dalam politik.

DAFTAR RUJUKAN
Hidayat, Komaruddin.2006. Politik Panjat Pinang: Dimana Peran Agama. Jakarta: Kompas.
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2005. Makalah Dinamika Low Politics: Kontribusi Demokrasi Lokal (Pedesaan) Terhadap Deokratisasi Di Indonesia.
DS, Pradjarta&Septianingsih, Haryani. 2005. Makalah Kontradiksi Dalam Hubungan Pusat Dan Pinggiran, Strategi Mempertahankan Identitas Dan Kelangsungan Agama Di Tingkat Lokal.
Budaya dan Etika Politik Dalam Sistem Politik Indonesia: Bangsa Besar yang Sakit. http://raconquista.wordpress.com [diakses 8 Juni 2009]
Rozaki, Abdur. 2008. Pemilu 2004 Di Madura:Pertarungan Ideologi Kiai, Kerabat, Dan Uang. Februari,vol I.[diakses tanggal 8 Juni 2009]
2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Apolo.

ANALISA KASUS KOJA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAM



Kerusuhan Koja terjadi pada tanggal 14 April 2010 yang dipicu oleh rencana eksekusi tanah kawasan makam Mbah Priok yang ada di dalam area terminal peti kemas Tanjung Priok oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Tindakan ini kemudian ditentang oleh warga sehingga berujung bentrokan anatara warga dan satpol PP.
Kejadian dilatarbelakangi oleh sengketa yang terjadi antara ahli waris Mbah Priok dengan Pelindo II atas kepemilikan tanah ini, akhirnya berdampak secara meluas.  Akibat bentrokan mulai dari korban tewas, luka-luka di pihak sipil, Satpol PP hingga POLRI. Tidak hanya kerugian secara fisik namun psikis samapai kerugian secara ekonomi. Kerugian secara psikis mengakibatkan trauma terhadap warga sekitar makam dan keluarga yang ditinggalkan. Sedangkan kerugian secara ekonomi berdampak pada kerugian yang dialami pengusaha akibat terhambatnya arus barang dan jasa dari terminal Peti Kemas Koja.
Kerusuhan ini diindikasikan oleh komnas HAM adalah sebuah kerusuhan yang di dalamnya terkandung tindak pelanggaran HAM. Pasal 1 ayat 7 menyatakan bahwa yang dikatakan pelanggaraan HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia seseoarang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang  adil dan benar, berdasarkan  mekanisme hukum yang berlaku. Sehingga dilakukan analisa tipologi tentang praktek pelanggaran dalam kasus Mbah Priok.
Analisis ini mencoba menelaah kasus sengketa dari segi yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Secara yuridis normatif, kita mampu menganalisis apakah Eigendom Verponding No.4341 dan No. 1780, yang dikeluarkan pemerintah Belanda tahun 1937, pernyataan tertulis BPN(No. 182/09.05/HTPT) dan Pada 5 Juni 2001 PN Jakarta Utara mengeluarkan putusan No 245/Pdt.G/2001/ PN.JKTUT, yaitu Majelis Hakim menyatakan gugatan ahli waris tidak dapat diterima.berdasarkan Keputusan PN Jakarta Utara tersebut yang menjadi dasar instruksi penggusuran komplek pemakaman tersebut. Sedangkan  secara yuridis sosiologis, analisis didasarkan pada fungsi sosial dari makam Mbah Priok sebagai cagar budaya yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Benda Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992. Hingga pada akhirnya kasus kerusuhan Kja dikategorikan sebagai kasus pelenggaran HAM.

Deskripsi Kasus
Kerusuhan koja terjadi pada 14 april 2010. Kerusuhan yang dilatarbelakangi oleh rencana eksekusi tanah kawasan makam Mbah Priok (Habib Hassan bin Muhamad al Hadad, penyiar Islam dari Sumatera yang pertama kali menamakan kawasan di utara Jakarta itu sebagai Tanjung Priok ) yang ada di dalam area Terminal Peti Kemas Tanjung Priok oleh PemDa DKI Jakarta ini berakhir bentrokan antara massa pro Mbah Priok dengan petugas Satpol PP dan POLRI. 
Kuasa hukum ahli waris makam Mbah Priok, Zulhendrihasan, mengatakan, tanah ini awalnya makam Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad. Saudagar Arab itu meninggal tahun 1756 karena kapalnya terkena badai di laut utara Jakarta.
Pihak ahli waris mengklaim kepemilikan tanah dengan mendasarkan pada Eigendom Verponding No.4341 dan No. 1780 di lahan seluas 5,4 Ha. Namun pada tanggal 5 Juni 2002 PN Jakarta utara memutuskan tanah tersebut secara sah adalah milik PT Pelindo II. Hal ini sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) nomor 01/ Koja dengan luas 145,2 Ha yang diterbitkan Kantor Pertanahan Jakarta Utara pada 21 Januari 1987. Dengan sertifikat itu, PT Pelindo II berniat memperluas terminal bongkar muat peti kemas sesuai dengan rencana induk pelabuhan.
Mendengar hal itu, pihak ahli waris melakukan protes dan memeriksa status kepemilikan tanah ke Kantor Pertanahan Jakarta Utara. Kantor Pertanahan Jakarta Utara mengeluarkan surat No 182/09.05/HTPT yang menyatakan bahwa status tertulis tanah di Jalan Dobo itu atas nama Gouvernement Van Nederlandch Indie dan telah diterbitkan sertifikat hak pengelolaan No 1/Koja Utara atas nama Perum Pelabuhan II.
Pada periode 1995-1997, sebanyak 28.500 kerangka dipindahkan ke TPU Budidarma, Semper, Jakarta Utara. Pada 21 Agustus 1997, kerangka Habib Hasan juga dipindah ke TPU Budidarma. Namun, pada September 1999, ahli waris kembali membangun makam Mbah Priok di lokasi lama serta sebuah pendopo tanpa izin Pelindo II dan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB). Makam itu sering dikunjungi orang untuk berdoa dan berziarah.
Pada tahun 2001, Habib Muhammad bin Achmad sebagai ahli waris Habib Hasan mengajukan gugatan atas tanah tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara dengan nomor perkara 245/Pdt.G/2001/PN.Jkt.Ut melawan PT Pelindo II. Namun, PN Jakarta Utara menolak gugatan itu. Setelah itu, pihak ahli waris tidak mengajukan banding sehingga putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap dan hak atas tanah itu menjadi milik PT Pelindo II. Pada 2010, PT Pelindo II meminta bantuan hukum dari Pemprov DKI untuk membongkar bangunan pendopo dan karena tidak memiliki IMB dan kawasan itu akan dijadikan perluasan terminal peti kemas.
 Rencana eksekusi ini akhirnya mendapat tentangngan dari warga dan berujung bentrokan. Akibat bentrokan yang terjadi antara aparat dengan warga menewaskan 3 anggota Satpol PP dan menyebakan 130 sampai 231 orang mengalami luka-luka. Korban luka-luka terdiri 66 sampai 112 orang Satpol PP, 10 sampai 26 anggota POLRI dan masyarakat umum dari 54 samapai 90 orang.
Menyikapi kerusuhan di Priok kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam keterangan pers di depan Kantor Presiden, Rabu tengah malam, menyatakan prihatin dan menyayangkan terjadinya benturan fisik sehingga menimbulkan korban baik pada pihak Satpol PP, Polri, maupun warga masyarakat. Sehingga meminta agar pintu negosiasi dengan pihak-pihak terkait dibuka kembali, presiden juga meminta kepada Gubernur DKI Fauzi Bowo untuk melakukan pendekatan. Hasil dari negosiasi menegaskan Pemprov tidak berniat untuk menggusur makam, tetapi bangunan pendopo yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan. Makam Mbah Priok justru akan dipercantik. Pelindo juga sudah menyetujui pemberian uang kerohiman Rp 2,5 miliar bagi ahli waris dan tanah 5.000 meter persegi bagi kepentingan masjid.

ANALISA
Walaupun kasus ini belum disidangkan di pengadilan HAM Ad Hoc, namun komnas HAM telah menyatakan bahwa kasus Mbah Priok merupakan kasus pelanggaran HAM berat. . Pertama, Hal ini terkait dengan keabsahan surat yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda dengan mendasarkan pada Eigendom Verponding No.4341 dan No. 1780 menurut BW  hingga proses dikeluarkannya surat-surat yang melegalkan tanah tersebut untuk dieksekusi. Yaitu mengeluarkan surat No 182/09.05/HTPT yang menyatakan bahwa status tertulis tanah di Jalan Dobo itu atas nama Gouvernement Van Nederlandch Indie dan telah diterbitkan sertifikat hak pengelolaan No 1/Koja Utara atas nama Perum Pelabuhan II. Hal ini dikarenakan khususnya  berdasarkan pasal 9 poin d mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
Sebagaimana telah di runut dalam deskripsi kasus Penyebab Tragedi Berdarah tersebut yaitu PT. Pelindo II cq Jakarta International Container Terminal (JICT) berupaya menggusur komplek pemakaman pendiri Tanjung Priok dan akan melahap Hak Eigendom Ahli Waris pemiliknya. PT. Pelindo II yang didirikan tahun 1992, atas dasar Hak Pengelolaan Lahan, mengklaim tanah komplek yang dimiliki oleh Ahli Waris Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad yang memegang sertifikat Hak Eigendom Verponding No.4341 dan No. 1780, yang dikeluarkan pemerintah Belanda tahun 1937. Pada 5 Juni 2001 PN Jakarta Utara mengeluarkan putusan No 245/Pdt.G/2001/ PN.JKTUT, yaitu Majelis Hakim menyatakan gugatan ahli waris tidak dapat diterima. keputusan PN Jakarta Utara tersebut yang menjadi dasar instruksi penggusuran komplek pemakaman tersebut. Sehingga diasumsikan ada pengkaburan informasi dengan dalih tidak tercatat di BPN dan secara administratif tercatat makam Mbah Priok sudah kosong, yang sama sekali tidak benar, karena ternyata berentangan dengan fakta di lapangan.    
Berdasarkan data dilapangan, dilansir hal ini diakibatkan privatisasi PT pelindi II kepada perusahaan asing Hutchison Port Holdings (HPH). Dalam privatisasi itu PT. Pelindo II hanya mempunyai saham sebesar 48,9% saja, Grosbeak Pte.Ltd sebesar 51%, Koperasi Pegawai Maritim sebesar 0,1%, Grosbeak Pte.Ltd adalah anak perusahaan dari Hutchison Whampoa Ltd yang merupakan dari grupnya Hutchinson Port Holding (HPH).
Ada keanehan yaitu Ahli Waris "terangsang" menggugat lebih dahulu, padahal mereka telah memegang hak Eigendom 1937 dan telah bermukim sejak 4 generasi, maka mestinya pihak PT Pelido II yang menggugat. Lalu bagaimana dengan kedudukan Eigendom Verponding dikacamata hukum.
Dalam bahasa Belanda “ Eigendom” berarti sebagai suatu hak pemilikan tetap terhadap suatu aset tanah atau bangunan. Verponding adalah surat nomor tagihan pajak atas tanah /bangunan yang dimaksudkan. Sekarang lebih dikenal dengan SPPT PBB. Eigendom dalam BW adalah tentang hak milik yaitu dimana hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan memiliki kedaulatan sepenuhnya asal tidak bertentangan dengan UU, tidak menggagu hak-hak orang lain, dengan kesemuaan itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan berdasarkan UU yang berlaku dengan pembayaran ganti rugi.
Sedangkan dalam hak milik UUPA tahun 1960 adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 (demi kepentingan sosial). setelah berlakunya UUPA tahun 1960 mengalami konversi. Semua jenis hak barat itu dinyatakan
berakhir 20 tahun kemudian, tepatnya pada 24 September 1980. Itu berarti, segala macam tanah tersebut otomatis menjadi tanah negara.
Prinsip dasar yang harus dipegang oleh pemegang hak eigendom sejak tanggal 24 september 1960 (berlakunya UU No. 5 tahun 1960 ) hukumnya wajib mendaftarkan hak konversinya, hal ini merupakan perintah undang-undang. Hal itu sesuai dengan persyaratan pasal 19.
Syarat yang harus dipenuhi bagi para bekas pemegang hak eigendom yang ingin dikonversi menjadi hak milik ( menurut UUPA ). berstatus warga Negara indonesia dan mempunyai tanda bukti kepemilikan berupa akta asli ( minuut ) atau salinan ( grosse ) eigendom ( lihat PMA No. 2 tahun 1960 ). Luasan tanahnya tidak melebihi batas maksimum dan atau tidak absentee ( gontai ) ( lihat UU No. 56 tahun 1960 jo. PP No. 24 tahun 1961 ). Selanjutnya jangka waktu pendaftarannya tidak melebihi batas waktu yang ditentukan yakni 1 tahun sejak 24 september 1960. Bilamana syarat tersebut dipenuhi maka pejabat administrasi yang berwenang dalam hal ini Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ( KKPT ) pada waktu itu ( BPN setempat saat ini ) akan mencatat / mendaftar penegasan konversi hak eigendom tersebut dalam buku tanah dan dikeluarkan sertifikat hak milik atas nama pemegang bekas hak eigendom tersebut. Tata cara mekanisme pencatatan penegasan konversi pendaftaran ini lebih rinci diatur dalam PP ( peraturan Pemerintah ) No. 10 tahun 1961 yang selanjutnya diubah dan diganti dengan PP No. 24 tahun 1997, sedang aturan pelaksanaannya diatur dalam PMNA ( Peraturan Menteri Negara Agraria ) /KBPN ( Kepala Badan Pertanahan Nasional ) No. 3 tahun 1997.
Namun sebaliknya apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka hak eigendom tersebut demi hukum berubah ( konversi ) menjadi hak guna bangunan yang berlangsung selama 20 tahun. Selanjutnya hak tersebut hapus, sedangkan tanah tersebut berubah status hukumnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau biasa disebut dengan tanah Negara ( lihat Keppres ( keputusan presidan ) No. 32 tahun 1979). Dalam posisi demikian hubungan hukum antara pemilik ( selanjutnya disebut sebagai bekas pemegang hak ) dengan tanahnya terputus. Namun demikian bekas pemegang hak masih mempunyai hubungan keperdataan dengan benda-benda lain diatasnya, misalnya tanaman, bangunan yang berdiri diatas tanah tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada bukti yang menguatkan bahwa tanah tersebut telah terdaftar ulang setelah UUPA tahun 1960 berlaku, oleh karena itu pemerintah mengintrusikan eksekusi lahan tersebut. Ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama, kemungkinan ahli waris lupa mendaftarkan ulang. Kedua, ada pengkaburan administratif yang dilakukan BPN.
 Kedua, yang seharusnya berdasarkan UU no. 26 tahun 2007 tentang cagar budaya dapat dilindungi dan dilestarikan.  Pada kasus Mbah Priok, ada pihak-pihak yang tidak taat azaz. Undang-undang Penataan Ruang Pasal 2 menyebutkan azaz penataan ruang antara lain; a). keterpaduan; b). keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; c). keberlanjutan; d). keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; e). keterbukaan; f). kebersamaan dan kemitraan; g). pelindungan kepentingan umum; h). kepastian hukum dan keadilan; dan i). akuntabilitas. Di samping itu, azaz perlindungan kepentingan umum termasuk yang tidak diperhatikan oleh pemerintah dan pihak pelindo II. Makam Mbah Priok, dilihat dari kegunaannya merupakan tepat umum yang bersejarah. Apalagi tempat ini sekarang menjadi tempat berziarah sebagian warga muslim untuk mendoakan ulama, maka dipastikan dalam proses eksekusi ini pihak pemerintah termasuk yang tidak memperhatikan kepentingan umum.
Dari aspek tujuan, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Kasus eksekusi makam Mbah Priok marupakan salah satu posisi yang tidak mengindahkan keempat aspek tujuan di atas. Tujuan ekonomi yakni produktivitas menjadi bahan pertimbangan utama.
Pembongkaran makam ini rencananya akan dialihkan menjadi pembangunan pelabuhan internasional yuang seharusnya makam Mbah Priok ini masuk dalam cagar budaya, berdasarkan undang-undang No. 5 tahun 1992. Menyatakan bahwa “Benda cagar budaya adalah : benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. maka makam Mbah Priok merupakan bagian dari benda cagar budaya. Kriteria benda cagar budaya, hampir semuanya dimiliki oleh makam Mbah Priok. Makam Mbah Priok merupakan benda yang secara usia telah berumur lebih dari 50 tahun, mempunyai nilai yang penting bagi sejarah local maupun ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan pada kondisi sekarang mempunyai nilai yang penting, yakni sebagai tempat ziarah warga yang merupakan amalan sunnah bagi masyarakat muslim.
Lalu bagaimana pertimbangan HAM dalam menyikapi kerusuhan yang telah menghilangkan 3 nyawa dan menyebabkan 231orang  luka-luka berdasarkan tipologi pelaku dan korban. Pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara lewat, acts of commission maupun act of omission1 yang terjadi di Indonesia dilihat dari kegagalan negara dan/atau pemerintah memenuhi kewajibannya sebagaimana yang disebutkan di dalam undang-undang.14 Sebagaimana telah dikemukakan negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia warganya.15 Pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dapat diketegorikan ke dalam pelanggaran Negara terhadap kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia.
Maka dalam kasus Mbah Priok dapatlah dimasukkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena dalam kerusuhan ini terdapat unsure pengusiran atau pemindahan secara paksa 2. Hal ini dikarenakan tindakan yang dilakukan satpol PP atas perintah pemerintah yang berwenang belum selesai diproses secara hukum. Walaupun sudah terdapat keputusan, namun proses ini belum final. Karena masih terdapat tumpang tindih antara penggugat dan tergugat dengan melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada.  Oleh karena itu apabila langsung terjadi tindakan represif seperti yang dilakukan satpol PP seharusnya tidak terjadi, apalagi hingga menimbulkan korban jiwa.
Hal ini dapatkah dikaitkan apakah perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pedana atau tidak. Berdasarkan unsure perbuatan tindak pidana adalah elemen yangn penting yang dapt menjuruskan apakah suatu peristiwa merupakan peristiwa pidana atau bukan. Pelaku perbuatan pidana adalah orang yang mempertanggngjawabkan perbuatannya. Suatu tindak pidana dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dilakukan dengan perbuataan aktif atau biasa disebut dengan delik komisi. Artinya si pelaku melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan perbuatan yang aktif. Kedua, dilakukan dengan perbuatan dengan perbuatan pasif atau disebut sebagai delik omisi, artinya pelaku melakukan tindakan melawan hukum karena perbuatan yang seharusnya ia lakukan namun tidak ia lakukan. Ketiga, dilakukan bersamaan yang biasa disebut dengan delik komisi per omisi. Berkaitan dengan hal diatas maka diperlukan pertanggungjawaban.
Sebagaimana diatur pada pasal 42 UU No.26 tahun 2000 yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban dilakukan oleh atasan atas segala apapun yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya secara efektif karena tidak melakukan pengendalian secara patut dan benar. Hal itu dikarenakan ada unsure bahwa atasaan mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi atas pelanggaran yang sedang terjadi. Tidak adanya tindakan responsif yang layak untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut. Hal tersebiutlah yang diancam dengan pidana.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Muh.Nur.2010. http://www.hph.com/webpg.aspx?id=87. Diakses tanggal 23 Mei 2010
Billah, M.m. 2003. Makalah seminar Tipologi Dan Praktek Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Indonesia.
Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Asdi Mahastya
Subekti, R&Tjitrosudibio. 1996. KUHPer dan UUPA  No.5 tahun 1960.
Undang-Undang No.26 Tahun 2007
Undang-undang No.5 Tahun 1992
Di Balik Kerusuhan Priok. 2010. Kompas. Kamis, 15 April 2010.

MAKNA KEBEBASAN PERS DAN POLITIK DEMOKRASI
Geliat pers Indonesia akhir-akhir ini membawa perubahan besar dalam perwujudan demokrasi. Pers mencoba kembali menyambung hubungan aspirasi masyarakat dengan pemerintah yang sempat tersendat di era orde baru. Reformasi digulirkan, maka pers pun berbenah dan memperkuat eksistensinya. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya produk Undang-Undang no 40 tahun 1999 tentang pers. Setahun setelah reformasi berjalan.
Perjalanan 11 tahun setelah reformasi, pers dari otoriteran beralih menjadi pers tanggung jawab sosial. Negara mengusung politik demokrasi sebagai jargon utama dalam segala aspek. Semua ruang gerak bertemakan demokrasi. Demokrasi adalah lambang dari kebebasan yang berasaskan konstitusional. Sama halnya dengan pers menuntut sebuah kebebasan dalam menyuarakan pendapat dan realita yang terjadi di masyarakat.
Namun muncul ironi bahwa pers menjauh dari prinsip-prinsip kebenaran dan hanya menjual komersialitas. Atau bahkan pers kini telah menjelma menjadi polisi langsung bagi masyarakat. Tidak menjadi masalah jika pengemasannya secara benar dan tidak berat sebelah. Namun kini pers dan politik sedikit banyak telah beteman baik.
Cita-cita menjadi penyambung lidah rakyat yang baik sebenarnya itulah sebuah harapan. Namun, determinasi kata ‘baik’ inilah kemudian yang disalahartikan. Benar jika tidak ada informasi yang dilebihkan dan dikurangkan.  Oleh karena itulah adanya sebuah kode etik yang disepakati antar wartawan.


RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kedudukan pers di Indonesia ?
2.      Bagaimana makna kebebasan pers dan politik demokrasi di Indonesia?
TUJUAN MAKALAH
1.      Untuk mengetahui kedudukan pers di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui makna kebebasan pers dan politik demokri yang sebenarnya.
1.      KEDUDUKAN PERS DI INDONESIA
Pers di Indonesia merupakan lembaga sosial yang telah dijamin keberadaannya dengan payung hukum UU no 40 tahun 1999 tentang pers. Munculnya undang-undang ini secara legalitas formil merupakan penjabaran dari pasal 28 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak berpendapat.
Pers memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Ada yang berubah ketika membicarakan tentang kedudukan pers di Indonesia. Tahun 1998, reformasi telah mengubah seluruh tatanan Negara dan masyarakat. Sumbat demokrasi, dalam hal ini pers, kini tidak dapat dibungkam dan disetir oleh pemerintah. Dulu perusahaan pers harus bersiap diberendel jika ada sebuah tulisan yang menjelekan pamor pemerintahan, kini budaya pembrendelan sudah tidak berlaku.
Ketika orde baru semua berita terkesan sebagai pesanan pemerintah untuk mendongkrak pencitraan pemerintahan dan legitimasi kekuasaan atau disebut patner in progress.(Masduki, 2007:63)
Namun peran penting dari pers berdasakan pasal 6 telah mengaturnya. Untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokratis, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM serta kebhinekaan. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dan juga memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Sebuah peranan yang mulia dalam menyalurkan amanat.
Untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers maka dibentuklah Dewan Pers yang independen. Seperti yang dilansir dalam pasal 15. Dewan pers ini selanjutnya akan memantau dan menilai fungsi sosial dari pers.
2.      TEORI PERS
Siebert (dalam Masduki, 2007:63) membagi empat teori besar sebuah pers, yaitu: (1) totalitarian teori, (2) libertarian teori, (3) komunis teori, (4) teori pertanggungjawaban sosial. Keempat teori ini memiliki masanya masing-masing dengan berbagai tujuan dan fungsinya. Pers otoriterian merupakan alat propaganda pemerintah dan fungsinya sebagai justifikasi kebenaran pendapat pemerintah terhadap berbagai masalaha yang muncul dimasyarakat.
Teori liberal muncul sebagai anti tesis teori otoriterian dan menyatakan bahwa pers bukan alat pemerintahan dan bisa dimiliki secara pribadi. Namun industrialisasi membuat kepemilikan media hanya terpusat pada pemodal besar yaitu kepentingan pemodal untuk balik modal. Hal ini menyebabkan control berada ditangan pemilik modal.
Oleh karena itu munculah teori pers tanggung jawab sosial. Teori ini mengadopsi filosofis diversity of ownership dan diversity of content. Prinsipnya adalah penciptaan ruang publik (public sphere). Pers harus menjamin kesetaraan akses semua pihak untuk berbicara lewat media sebab control media diletakkan pada opini masyarakat, yakni preferensi konsumen, dan standart professional. Untuk menjamin kepentingan umum, dimungkinkan adanya intervensi Negara secara terbatas.
3.      MAKNA KEBEBASAN PERS DAN POLITIK DEMOKRASI
Pers menurut Undang-Undang no 40 tahun 1999 adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisaan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
“ Saya menghargai kemerdekaan pers sebagaimana menghargai demokrasi” begitulah pernyataan yang dikeluarkan oleh presiden jika ditanya mengenai tanggapan beliau tentang pers. Pers dan demokrasi memang bagaikan dua permukaan sebuah koin. Sebuah Negara dikatakan demokratis jika kebebasan pers dijamin secara politik maupun hukum. Symbol sebuah demokrasi adalah kebebasan. Namun ketika kebebasan berada ditangan seseorang yang tidak berpendidikan maka seperti kapal tanpa nahkoda.
Makna pers bisa dipahami dari eksistensi keberadaanya dalam sebuah Negara dan juga aktor-aktor (wartawan) dibelakangnya. Eksistensi sebuah lembaga pers dalam sebuah Negara bisa dipengaruhi banyak hal, salah satunya adalah politik. Kesedaran sekumpulan orang yang berkeinginan untuk mengubah dunia melalui tulisan dari informasi yang terdapat di masyarkat. Ada sebuah slogan yang menyatakan bahwa pers adalah penyambung lidah rakyat. Ibarat sebuah kabel yang terdiri dari bebagai komponen. Jika salah satunya rusak atau berlebihan maka jatuhnya tidak seimbang bahkan tidak bermakna.
Seorang wartawan dituntut memiliki “semangat dan kepekaan yang tinggi” begitulah yang dikatakan seorang wartawan senior Jakob Oetama. Ada sebuah niatan mulia yang ingin dicapai pers yaitu bagaimana komunitas ini terus menerus menggugah kemajuan di masyarakat. dan juga menyatakan bahwa kebenaran senantiasa ada. Hal itu dilansir demikian "Sekalipun makna kebenaran ini harus didapat dengan susah payah. Pers harus mencerminkan bahwa kebenaran bagi rakyat senantiasa ada. Ini pula makna pers dalam demokrasi,"
Demokrasi memiliki prinsip pokok yakni martabat manusia dan hak-hak asasi yang dihormati dan dilidungi tanpa diskriminasi. Demokrasi juga mempunyai apa yag disebut sebagai hak-hak sipil yang dijamin secara konstitusional.
Terkait dengan makna demokrasi yang selalu diusung oleh pers, maka McQuaill menambakan relevansi teori demokratis partisipan (Masduki, 2007:67). Teori ini menyatakan bahwa warga Negara secara individual dan kelompok minoritas memiliki hak pemanfaatan media komunikasi dan hak untuk dilayani oleh media sesuai dengan kebutuhan yang mereka tentukan sendiri. Organisasi dan isi media tidak tunduk pada pengendalian politk yang dipusatkan atau dikendalikan oleh birokrasis Negara, kelompok, organisasi, dan masyarakat local.
Adalah benar kebebasan per itu dikaitkan dengan paham politik dan konstitusi, yakni jaminan atas hak untuk bebas menyatakan pendapatnya secara lisan maupu tulisan bahkan keduanya. Kenali prinsip dan karakter sebuah pers.
Kebebasan pers juga diperlukan agar masyarakat dapat memperoleh apa yang dikatakan oleh Dhal sebagai “the avaibility of alternative and independent source of information” (dalam Oetomo, 2001:76)
Ada indikasi bahwa pers di Indonesia kini telah kebablasan dalam menyiarkan sebuah informasi. Mulai dari gossip, kekerasan, criminal, investigasi, dan sex tetap bertahan bahkan menjadi rating  nomer 1. Hal itu menurut pandangan psikologis dan sosiologis bahwa sensasional tersebut memenuhi kebutuhan manusia (Oetomo, 2001: 24)
Dari kesemuaannya itu, pengadilan merupakan tumpuan dari kebebasan. (Oetomo, 2001: 106). Oleh karena itulah lembaga pengadilan dan para penegak hukum menjadi tuntutan gerakan reformasi. Sebuah Negara yang siap berdemokrasi maka siap dengan aturan hukum dan pengadilannya. Ketika pers adalah sahabat karib dari demokrasi maka pengawal dari itu semua adalah penegak hukum dan pengadilan.



DAFTAR PUSTAKA
Jakob Oetama: Kepekaan dan Semangat Jurnalisme Tidak Boleh Mati. Antara News. 23 September 2010.
Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran: dari otoriter ke liberal. Jakarta: LKiS
Oetama, Jakob.2001.  Pers Indonesia: berkomunikasi dalam masyarakat tidak tulus. Jakarta: Kompas

http://www.presidensby.info. 22 Oktober 2010. Presiden Menghargai Kebebasan Pers

Peraturan Dewan Pers nomor: 6/peraturan-dp/v/2008

Undang-undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 1999 tentang pers