posKu

  • budaya
  • hukum
  • politik
  • lifestyle
  • humor

Selasa, 26 April 2011

MEMULIHKAN KEWENANGAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN PAJAK : UPAYA SOLUSI MASALAH PERPAJAKAN DI INDONESIA

Pajak begitu penting bagi Negara. Setiap Negara atau daerah telah mengakui betapa pentingnya penghimpunan dana dari rakyat baik itu untuk penguasa dengan tidak memperhatikan rakyat atau juga digunakan untuk kesejaterahan rakyatnya (Devano&Rahayu, 2006:8). Pajak adalah sumber utama penerimaan pemerintah di dalam sistem keuangan Negara yang modern (Kumorotomo,  2010: 2). Begitu pentingnya pajak bagi Negara seharusnya lembaga yang mengurusi perpajakan di Indonesia memiliki kredibilitas dan akuntabilitas yang baik dimata publik.
Besar dan kecilnya pajak yang harus dibayarkan wajib pajak memang di hitung dan di tentukan oleh Ditjen Pajak wilayah sekitar berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Karena masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara instansi perpajakan dan pihak wajib pajak. Untuk mempermudah penyelesaian sengketa perpajakan dirasa butuh untuk mendirikan suatu peradilan khusus yang berwenang menanganinya.
Satu tahun ini citra institusi pajak dan kehakiman tercoreng karena salah seorang pegawai pajak merangkap menjadi makelar pajak. Tentu masih terekam jelas dalam ingatan tentang kasus Gayus Halomoan Tambunan, seorang pegawai pajak golongan III A dengan gaji 12 juta perbulan ini mampu menggoyangkan posisi Negara menuju kemandulan presiden dalam mengelola dan menegakkan slogan kampanyenya “Indonesia tanpa korupsi, BISA!”.
Data dari Ditjen pajak pada awal tahun 2010 menyebutkan bahwa dari total piutang pajak yang besarnya mencapai Rp 44 triliun rupiah ternyata hanya sekitar 25 persen yang dapat dikembalikan melalui proses pengadilan pajak. Mantan Ditjen pajak Darmin Nasution bahkan pernah menyebutkan potensi penerimaan pajak yang hilang karena adanya makelar pajak, suap dan berbagai bentuk kejahatan pajak (tax crime) lainya setiap tahunnya mencapai Rp 300 triliun (Bisnis Indonesia, 17/04/2010). Wujud pembangkangan ini benar-benar akan mengancam stabilitas Negara untuk menjalankan fungsi dan tujuan pajak.
Mengutip perkataan wakil ketua komisi XI DPR, Merchias Markus Mengkeng yang mengatakan bahwa kasus Gayus Tambunan harus menjadi acuan dan kesempatan untuk memperdalam masalah yang terjadi di pengadilan pajak. Apakah kekalahan Negara itu disebabkan suap menyuap ataukah karena kelemahan perundang-undangan yang dimanfaatkan wajib pajak yang nakal (Kompas, 29/3/2010). Penulis mencoba memperdalam analisis beliau yang ke dua dimana masalah Gayus ini dilihat dari perspektif lemahnya undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak. Benarkah beberapa pasal memang melonggarkan para makelar pajak.
Makelar pajak memiliki rantai makelar yang sangat menakjubkan. Mengapa menkajubkan? Hal ini dikarenakan terkaitnya beberapa kolaborasi aktif dari berbagai institusi penyangga pilar Negara. Antara lain, konsultan pajak, para penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim, politisi, Ditjen pajak dan pengusaha nakal.
Dengan ditetapkannya Andi Kosasih dan pengacara Haposa Hutagalung, Brigjen Edmond Ilyas, Kompol Arafat Enanie, AKP Sri Sumantri, hakim Muhtadi Asnun, Haran Tarigan, Bambang Widyatmoko. Serta  JPU Cirus Sinaga yang sedang dalam proses pemeriksaan sebagai tersangka, membuat kita bertanya dapatkah kasus ini diusut tuntas dan menjadi terang benderang. Dengan demikian, untuk memberantas makelar pajak, tindakan hukum yang dilakukan memang harus komprehensif.
Semua pengusaha tentu tidak akan terlepas dari pengawasan aparatur pajak (fiskus) khususnya pengawasan dalam rangka pemeriksaan pajak guna menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya seperti yang diatur dalam pasal 29 ayat (1) UU KUP yang menyatakan bahwa:
“ direktur jendral pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundanng-undangan perpajakan.”
Produk akhir dari pemeriksaan tersebut terdiri dari diterbitkannya Surat ketetapan Kurang Bayar Pajak/SKPKB, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan/SKPKBT, Surat Ketetapan Pajak Nihil/SKPN, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar/SKPLB. Dari empat kondisi ketetapan pajak, yang paling tidak disukai adalah kondisi kurang bayar. Namun hal inilah yang terkadang kontra dengan laporan wajib pajak yang jujur melaporkan kekayaannya setiap bulan atau setiap tahun. Oleh karena terdapat beberapa permainan yang dilakukan wajib pajak terhadap pejabat pajak ataupun sebaliknya maka terjadilah sengketa.
Menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak menyebutkan bahwa yang dikatakan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atau pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang dengan surat paksa.
2.2.   Pengadilan Pajak Era Orba Dan Pasca Reformasi
Sejak dahulu, ketika masa penjajahan belanda Indonesia sudah memiliki suatu institusi khusus yang dikenal dengan nama institusi pertimbangan pajak pada tahun 1915 (staatsblaad tahun 1915 nomor 707) yang berkedudukan di Jakarta (atau Batavia pada saat itu). Kemudian ketentuan penyelesaian sengketa pajak ini disempurnakan dengan staatsblaad tahun 1927 nomor 29 tentang Ordonatie Regeling vat het Beroep in Belasting zaken sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan undang-undang nomor 5 tahun 1959 (lembaran Negara nomor 13, tambahan lembaran negra nomor 1748) dengan kedudukan tetapnya di Jakarta (Barata, 2003:5).
Institusi pertimbangan pajak ini kemudian berganti nama menjadi Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang bertugas memberi keputusan atas Surat Permohonan Banding tentang Pajak-pajak Negara dan daerah. Majelis pertimbangan Pajak memeriksa dan memutus Sengketa Pajak hanya berlaku hingga tahun 1997. Sejak awal tahun 1998, dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, maka penanganan penyelesaian sengketa pajak (banding dan gugatan ) beralih ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).
Di dalam penjelasan umum Undang-undang No. 17 tahun 1977, disebutkan antara lain, bahwa MPP yang dibentuk berdasarkan Regeling vat het Beroep in Belasting zaken staatsblaad nomor 29 tahun 1927, sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor 5 tahun 1959 tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan dalam menyelesaikan sengketa pajak.
Untuk memeberikan pelayanan kepada warga negara diperlukan lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komperhensif untuk menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan UU perpajakan. Undang-undang no. 17 tahun 1977 tentang perpajakan itu diharapkan dapat memberikan putusan hukum atas sengketa pajak dengan proses yang sederhana, cepat dan murah. Atas pertimbangan tersebut BPSP dibentuk.  Kompetensi yang lebih luas dibandingkan dengan badan peradilan pajak sebelumnya ini dinyatakan dalam Undang-undang no. 17 tahun 1977 bahwa :
“Badan Penyelesaian Sengketa bukan saja menggantikan kedudukan Majelis Pertimbangan Pajak melainkan juga Menggantikan Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai sebagai mana dimaksud dalam UU no. 10 tahun 1985 tentang kepabeanan dan UU no. 11 taun 1985 tentang Cukai”
Sebagai lembaga peradilan, keberadaan BPSP hanya berumur 4 tahun. Badan ini digantikan dengan badan peradilan baru bernama pengadilan pajak sejak diterbitkannya UU no. 14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak pada tanggal 12 April 2002.
2.3     Analisis Kajian Kekuasaan Dan Kewenangan Pengadilan Pajak Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002
Penulis memandang bahwa hal yang menjadi kelemahan dalam pengadilan pajak adalah dualism kewenangan dan kekuasaan pengadilan pajak. Seperti yang dinyatakan dalam pasal 31 ayat (1) bahwa pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutuskan sengketa pajak. Sedangkan kekuasaan pengadilan pajak diatur lebih lanjut dalam pasal 33 bahwa pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa, sehingga putusan pengadilan pajak bersifat final and binding (putusan terakhir dan memilki kekuatan hukum tetap).
Dalam sengketa pajak yang diajukan ke meja pengadilan pajak hanya bersifat banding. Dimana hanya memeriksa dan memutuskan suatu keputusan yang dapat diajukan banding sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Prosedur keberatan tidak diatur dalam UU peradilan pajak tetapi diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang mana disebutkan dalam pasal 25 ayat (1) bahwa wajib pajak mengajukan keberatan hanya kepada Ditjen Pajak. Itupun dengan syarat, WP harus melunasi dulu hutang pajak yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan (pasal 25 ayat 3a), sehingga dapat diperkenankan mengajukan keberatan.
Bahasa sederhananya adalah Ditjen Pajak yang membuat laporan pajak terutang yang dikemas dalam surat pemeberitahuan, kemudian wajib pajak mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak, dan Ditjen Pajak jugalah yang memberi putusan. Putusan gugatan itulah yang dapat diajukan ke tingkat banding yaitu dalam kewenangann pengadilan pajak. Sebagian besar gugatan tersebut ditolak, namun ketika di pengadilan pajak banding sebagian besar diterima. Hal demikianlah yang disebut dualisme Ditjen Pajak sebagai eksekutif dan yudikatif yang menjadi wilayah makelar kasus pajak. Hal inilah yang menurut penulis tidak dapat disetujui dikarenakan selain dari banding ada upaya hukum lain yang dapat diajukan ke pengadilan pajak yaitu upaya hukum gugatan.
Penulis mencoba memberi alasan mengapa diperlukan pemulihan kekuasaan dan kewenangan pengadilan pajak berdasarkan UU No. 14 TAHUN 2002. Pertama, Indonesia corruption watch (ICW) menilai potensi korupsi terbesar dalam kasus pajak adalah pengadilan pajak dengan persentase kekalahan yang dialami negara mencapai 70%-80% selama periode 2002-2009. Data ICW menyebutkan selama 2002-2009 total berkas gugatan dan banding yang masuk ke pengadilan pajak mencapai 22.249 berkas di mana 16.953 berkas diterima secara formal dan sisanya ditolak. Angka paling mengejutkan adalah total piutang negatif sebesar 1,21triliun dimana sekitar Rp. 767,76 miliar tidak didukung oleh sumber dokumen yang tidak valid (Bisnis Indonesia, 2010).
Kedua, sebelum bertolak ke London, Inggris, selasa (30/3) mantan meneteri keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa terdapat kelemahan pengadilan pajak jika dilihat dari segi rekruitmen hakim. Saat ini, sekitar 90 persen hakim yang aktif berasal dari pejabat Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai. Oleh karena itu terdapat kemungkinan terjadinya conflict of interest (Yoz, www.hukumonline.com :2010). Hal ini diperkuat dengan pernyataan sekretaris pengadilan pajak Jefri Wagiu yang menyatakan bahwa mayoritas dari 48 hakim dipengadilan pajak adalah mantan pegawai Ditjen Bea dan Cukai Kementrian Keuangan Hakim Karier yang ingin menjadi hakim pengadilan pajak harus mengikuti ujian negara yang diadakan ditjen pajak (Kompas, 2010)
Ketiga, terkait dengan pengangkatan hakim pengadilan pajak ternyata dinyatakan cacat hukum. Hal ini terkait dengan pengusulan tiga dari lima orang hakim pengadilan pajak usulan ketua pengadilan pajak (lembaga kekuasaan kehakiman) tanpa penjelasan secara yuridis oleh menteri keuangan (Suara Pembaruan, 2008). Tentu hal ini akan memberi implikasi apakah produk hukum berupa putusan dari hakim-hakim tersebut menjadi cacat hukum dan batal demi hukum. Terkait tiga faktor yang disebutkan diatas maka penulis mencoba menganalisis berdasarkan kedudukan hukum yang ada berasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun jelas, berdasarkan UU No.14 tahun 2004 pasal 15 ayat 1 menjelaskan status pengadilan pajak bahwa :
“yang dimaksud dengan pengadilan khusus dalam ketentuan ini antara lain, adalah ... dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.”
Kemudian hal ini dipertegas lagi dengan amandemen UU peradilan tata usaha negara No.9 tahun 2004 pasal 9A bahwa:
“yang dimaksud pengkhususan adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya pengadilan pajak.”
Terkait permasalahan hakim, hal tersebut juga merupakan kelemahan dari pasal 5 UU tentang pengadilan pajak yaitu tidak diintegrasikannya pengadilan pajak dibawah Mahkamah Agung (MA). Di dalam pasal disebutkan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi pengadilan pajak dilakukan oleh MA (ayat 1) sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan bagi pengadilan pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan (ayat 2).
Posisi pengadilan pajak saat ini menurut penulis akan melemahkan fungsi pengawasan dan independensi hakim dalam pengadilan pajak. Lembaga negara seharusnya menggunakan prinsip chek and balances. Pengawasan internal tentu tidaklah cukup sehingga memerlukan pengawasan eksternal. Kekuasaan yang di pegang Ditjen Pajak mengenai pajak dan keuangan negara sudah sangat luas mulai dari menentukan, mengelolah dan kali ini diperkuat dengan menghakimi. Pengadilan dalam hal ini hanyalah formalitas, seakan-akan tetrdapat chek and balance agar tidak terjadi abuse of power. Namun, pada materi muatan undang-undang kekuasaan kehakiman itupun dipangkas.
Berdasarkan Jumlah Hasil Analisis Menurut Dugaan Tindak Pidana Asal tahun 2003-2010 yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan bahwa kasus penggelapan pajak yang terjadi sebanyak 7 kasus dan 40 kasus penyuapan.
Mengenai independensi kekuasaan kehakiman, MA dalam UU No. 35 tahun 1999 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah pengawal supremasi hukum yang harus diberi kekuasaan yang independen sehingga mampu berperan sebagai katup penekan terhadap semua tindakan inkonstitusional dan pengendali serta benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan (Upholder of the rule of law). Undang-undang inilah yang menjadi pintu bagi lahirnya UU No.14 tahun 2004.
Di Indonesia dari sejak kemerdekaan 1945 sampai sekarang dapat ditemukan bagaimana politik memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap independensi lembaga peradilan dan juga hakim. Betul diakui bahwa putusan yang diucapkan oleh hakim memiliki kekuasaan yang sangat besar. Tetapi untuk menjalankan kekuasaannya itu, hakim membutuhkan bantuan eksekutif. Sesungguhnya lembaga kekuasaan kehakiman merupakan institusi politik ketatanegaraan yang paling lemah dan paling mudah terkooptasi secara politis dibandingkan dengan lembaga negara lainnya (Ball, 2003:378). Hakim hanya dapat terjun ke dalam kontroversi dalam masyarakat melalui perkara yang diperiksanya. Jika pihak-pihak yang terlibat tidak mau mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan maka hakim tidak memilki kekuasaan lebih untuk memberikan pendapat hukum atau mengambil tindakan ( Tribe, 1986:2). Oleh karena itu seringkali hakim dan lembaga peradilan direncanakan sedemikian rupa atau secara tidak sengaja menjadi alat politik oleh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif.
Contoh dalam Gayus Tambunan, Mahkamah Agung menyatakan hakim yang mengadili perkara tersebut tidak terlibat permainan dalam memberikan putusan bebas terhadap Gayus, ternyata setelah diadakan pemeriksaan oleh Komisi Yudisial, ketua majelis hakim tersebut telah menerima Rp. 50 juta untuk memberikan vonis bebas terhadapnya.
Padahal jelas dalam butir ke empat instruksi yang dikeluarkan oleh MA No. KMA/015/INST/VI/1998 yang di tujukan kepada Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding empat lingkungan peradilan dan para ketua Ketua Pengadilan Tingkat Pertama empat wilayah hukum peradilan masing-masing menghimbau para hakim untuk memantapkan profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan putusan hakim yang eksekutabel berisikan: Ethos (integritas), Pathos (pertimbangan yuridis yang utama dan pertama), Filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), dan sosiologis (sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat), serta logos (diterima dengan akal sehat), demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan pengadilan.
2.4     Upaya Solusi Masalah Perpajakan
Pengadilan perpajakan merupakan solusi komprehensif dalam menyelesaikan kasus-kasus perpajakan. Solusi seperti itu pula yang dapat menyelesaikan kasus-kasus peggelapan pajak dan juga penyuapn terhadap pegawai pajak yang diduga dilakukan oleh sejumlah perusahaan.
Seperti yang dijelaskan oleh Gunadi seorang guru besar tentang perpajakan UI (Suara Pembaruan, 2008) Belum pernah terjadi masalah penggelapan pajak diadili secara pidana. Sebab, tujuan pajak sebenarnya bukan untuk menghukum orang tapi agar uang atau hak negara tidak dimanipulasi. Kasus penggelapan pajak, di mana pun, tidak diselesaikan secara pidana, melainkan melalui pengadilan pajak. Hal tersebut juga telah dijelaskan dalam pasal 43A angka 1 hingga 4, yang jelas-jelas dikatakan bahwa penyidikan tindak pidana dilakukan bidang perpajakan dengan menugasi unit pemeriksa interal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan berdasarkan peraturan menteri keuangan. Pasal 39 hingga pasal 44B merupakan pasal yang memangkas kekuasaan pengadilan pajak yang notabenenya adalah seharusnya masuh dalam kekuasaan kehakiman.
Solusi yang dipersiapkan selanjutnya adalah reformasi birokrasi kedalam yang seharusnya dilakukan oleh Ditjen pajak. Proses bisnis di Ditjen pajak dikelompokkan pada dua kategori besar, yaitu proses bisnis yang menangani pelayanan perpajakan dan proses bisnis yang mengurusi pengawasan dan penegakan hukum. Proses bisnis pelayanan perpajakan, diantaranya meliputi pendaftaran wajib pajak, ektesifikasi, pembayaran dan pelaporan pajak serta pentuluhan dan edukasi perpajakan. Adapun, proses bisnis pengawasan kepatuhan, pemeriksaan, penyidikan, keberatan, banding, dan penaguhan (Devano&Rahayu, 2006:63-67). Dari proses bisnis seharusnya Ditjen Pajak memberikan solusi yang berlangsung terdapat titik sumber permasalahan yang akan menjadi celah terjadinya tindak pidana perpajakan. Antara lain: pertama, diproses pemeriksaan, dibentuk tim independen dari proses pemeriksaan yang berlangsung, sebagai pihak ketiga sebagai saksi dalam proses transaksi antara pemeriksa pajak dengan wajib pajak. Kedua, pada proses keberatan telah dibentuk tim eksaminasi keberatan. Tim ini bertugas menguji kelaikan atas putusan keberatan yang dikeluarkan dengan mengacu pada Standart Operating Procedure (SOP) harapannya proses keberatan menjadi transparan dan akuntebel.
Ketiga, Untuk proses bisnis banding, maka dilakukan perubahan mendasar untuk memperbaiki dengan cara mengajukan perubahan Undang-undang pengadilan pajak. Keempat, penyalahgunaan wewenang yang berasal dari pegawai Ditjen Pajak akan diantisipasi dengan Pasal 36A UU KUP yang mengatur tentang penegakan sanksi bagi pegawai pajak yang melakukan pelanggaran hukum dalam melaksanakan tugasnya, salah satu wujud perbaikan proses bisnis SDM di ditjen pajak.
Semua yang dipermasalahkan itu sebenarnya dapat diurut melalui asal-usul kedudukan pengkhususan pengadilan pajak. Walaupun hal ini pernah diajukan oleh PT Apota Wibawa Pratama kepada MK untuk dilakukan judicia review terhadap UU No.14 tahun 2002. Namun dalam sidang, putusan itu di tolak karena tidak bertentangan dengan UUD1945 baik secara materiil maupun formil, sehingga undang-undang ini tetap berkekuatan mengikat. Namun dalam dissenting opinion (pendapat yang berbeda) menjelaskan bahwa UU pengadilan pajak yang diundangkan tanggal 12 April 2002 adalah UU yang dibuat sesudah berlakunya perubahan ketiga UUD 1945 tanggal 9 November 2001. Kedua, UU itu tidak jelas kedudukannya. Ketiga, karena pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan pengadilan tata usaha negara maka setiap badan peradilan harusnya masuk dalam sistem kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945. Keempat, ketentuan yang tercantum dalam pasal 36 ayat 4 UU pengadian pajak yang mensyaratkan upaya banding harus terlebih dahulu membayar 50 persen pajak terhutang adalah pelanggaran tetrhadap hak atas jaminan hukum yang adilyang merupakan salah satu hak asasi wajib pajak. Oleh karena itu, UU ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dan direkomendasikan untuk direvisiagar sesuai dengan UUD 1945 (Tempo,2004). Namun, tidak ada salahnya belajar dari kesalahan, yaitu dengan diterimanya rekomendasi dari Ditjen Pajak untuk dilakukan perubahan Undang-undang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar